PANTAI KARMA KANDARA, PANTAI TERINDAH DI BALI YANG MASIH SEPI DAN TERSEMBUNYI

Peta Lokasi Pantai Karma Kandara (Sumber : http://www.karmakandara.com)

Pantai mana yang menjadi favorit Anda ketika liburan di Bali? Pantai Kuta, Sanur atau Dreamland? Ketiga pantai tersebut memang indah dan sudah sangat tersohor ke berbagai penjuru dunia. Turis dari berbagai belahan dunia selalu memadati pantai-pantai tersebut. Apalagi di akhir pekan dan di musim liburan. Saya jamin pasti Anda akan kesulitan mencari tempat untuk bersantai di pantai tersebut. Walaupun tinggal di Bali dan penggemar pantai, saya paling males pergi ke pantai-pantai tersebut. Saya tidak suka dengan pantai yang terlalu ramai dan penuh dengan turis.

Suatu hari, ketika akan pergi ke Pantai Dreamland, saya melihat iklan di sebuah billboard besar, di pinggir jalan. Billboard tersebut mengiklankan sebuah hotel yang berada di pinggir tebing, dengan pantai yang sangat indah di bawahnya. Pantainya berpasir putih bersih dengan air laut hijau kebiruan. Hotel bernama Karma Kandara tersebut berada di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung Selatan, Bali. Sayangnya di billboard tersebut, tidak terdapat peta hotel. Saya pun penasaran dengan pantai hotel tersebut.

Sepulang dari Dreamland saya pun langsung browsing di internet, untuk mencari informasi tentang Karma Kandara. Dengan bantuan Om Google, saya pun mendapatkan informasi yang cukup lengkap tentang Hotel Karma Kandara, berikut foto-foto dan peta lokasi hotel tersebut. Foto-foto hotel tersebut terlihat sangat indah. Pantainya sangat cantik, bersih, dan sepi. Saya semakin tidak sabar untuk segera menemukan pantai tersebut.

Pantai Karma Kandara yang mempesona

Menemukan Pantai Karma Kandara ternyata bukan hal yang mudah. Saya sampai harus pergi dua kali untuk bisa sampai ke pantai tersebut. Kali pertama, saya tidak bisa mencapai Pantai Karma Kandara karena saya salah jalan. Namun saya tidak putus asa. Minggu berikutnya, saya kembali mencari Pantai Karma Kandara bersama teman saya dan Alhamdulillah, saya bisa menemukan pantai impian saya.

Petunjuk arah Pantai Karma Kandara

Pantai Karma Kandara terletak di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Dari pusat kota Denpasar jaraknya sekitar 27 km. Untuk menuju pantai tersebut, arahkan kendaraan Anda menuju Dreamland/Uluwatu dengan melewati Jalan Raya Uluwatu. Dari pertigaan yang sedikit menikung/membelok di Desa Ungasan (sekitar 1 km menjelang gerbang Dreamland), ada tulisan Karma Kandara dan Di Mare di sebelah kiri jalan. Beloklah ke kiri dan ikuti terus jalan tersebut. Perhatikan rambu-rambu yang bertuliskan Karma Kandara dan Di Mare. Selanjutnya Anda akan melewati dua pertigaan lagi. Di pertigaan pertama (ada tulisan Karma Kandara juga), Anda belok kanan. Di pertigaan kedua (ada tulisan Karma Kandara dan Di Mare), Anda belok kiri, menuju Di Mare. Di Mare adalah nama Restoran Italia di Hotel Karma Kandara. Jangan belok kanan, karena Anda akan sampai di Hotel Karma Kandara. Sebagai informasi, pintu masuk Hotel Karma Kandara dan Restoran Di Mare adalah berbeda dan letaknya sangat berjauhan. Setelah berjalan sekitar 900 meter, sampailah Anda di Restoran Di Mare. Parkirlah kendaraan Anda di tempat parkir, di depan pintu masuk restoran atau di depan pura. Dari sana laut sudah kelihatan. Anda tinggal jalan kaki menuju ke pantai.

Inclinator (lift) sedang turun menuju Nammos Beach Club, yang berada di bawah tebing.

Dari tempat parkir tersebut, ada dua pilihan untuk menuju Pantai Karma Kandara. Pilihan pertama, bagi Anda yang berkantong tebal dan nggak mau mau repot. Anda bisa menuju Pantai Karma Kandara dengan melalui Restoran Di Mare. Dari restoran tersebut, ada inclinator (lift) yang akan membawa Anda turun ke Nammos Beach Club. Restoran/klub yang berada di pinggir pantai tersebut menyajikan masakan Mediterania dan sea food. Anda harus merogoh kocek sebesar Rp 250.000,00 untuk bisa masuk ke restoran tersebut. Uang tersebut sebagai uang deposit untuk makan dan minum di restoran tersebut. Bila Anda makan melebihi Rp 250.000,00 Anda harus bayar kekurangannya. Namun, bila Anda makan tidak sampai Rp 250.000,00 sisanya nggak akan dikembalikan kepada Anda.

Lorong sempit menuju Pantai Karma Kandara

Anak tangga menuju Pantai Karma Kandara

Pilihan kedua, bagi Anda yang ogah bayar (alias suka gratisan) tapi mau sedikit bersusah payah. Dari tempat parkir, Anda tinggal jalan kaki melewat sebuah lorong sempit di antara tembok pagar pura dan tembok (dari tumpukan batu alam) hotel, hingga sampai di bibir tebing. Dari tebing yang tingginya 150 meter dari pantai tersebut, terhampar pemandangan Pantai Karma Kandara yang luar biasa indah. Saya sampai takjub dan bengong, melihat pantai yang dahsyat tersebut. Saya pun nggak tahan untuk tidak berfoto di bibir tebing tersebut. Ternyata iklan hotel yang ada di billboard tersebut, nggak bohong. Justru pemandangan aslinya jauh lebih indah.

Pantai Karma Kandara dilihat dari atas tebing

Setelah puas foto-foto di bibir tebing, saya segera turun meniti anak tangga yang berkelok-kelok menuju pantai. Saya menuruni ratusan anak tangga dengan hati-hati karena di beberapa tempat anak tangganya sangat curam. Pepatah ”bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” berlaku di sini. Perjuangan saya menuruni 340 anak tangga ternyata tidak sia-sia. Saya mendapat hadiah pantai yang luar biasa indahnya. Hamparan pasir putih nan lembut dan air laut sebening kristal berwarna hijau toska menyambut kedatangan saya di Pantai Karma Kandara. Langit biru dengan gumpalan awan putih yang memayungi pantai semakin menambah cantik pantai ini. Sesekali ombak lembut membelai kaki saya, menebarkan kesejukan. Pemandangan yang sangat menakjubkan. Rugi rasanya jika mata berkedip. Saya sampai kehabisan kata-kata untuk melukiskan keindahan Pantai Karma Kandara. Saya pun langsung memotret setiap jengkal Pantai Karma Kandara yang begitu eksotis.

Melihat keindahan Pantai Karma Kandara dari atas tebing

Air laut yang bening dengan gradasi warna hijau kebiruan, sejak tadi telah memanggil-manggil saya untuk bermain dengannya. Tanpa membuang-buang waktu, saya pun langsung mengenakan masker dan snorkel yang saya bawa dari rumah, untuk ber-snorkeling. Snorkeling di Pantai Karma Kandara sangat menyenangkan. Pantainya tenang dan dangkal, airnya bening, terumbu karang dan ikannya pun cukup beragam. Namun, Anda harus membawa sendiri peralatan snorkeling. Karena di sana tidak ada tempat penyewaan alat snorkeling. Kecuali bila Anda menginap di Hotel Karma Kandara, Anda bisa menyewanya dari pihak hotel.

Kayanya gini nih, beningnya air di Pantai Karma Kandara

Selain snorkeling, aktivitas yang bisa Anda lakukan di Pantai Karma Kandara adalah berenang, berjemur, berselancar (surfing) ataupun sekedar bermalas-malasan di tepi pantai sambil membaca buku. Bermain pasir seperti anak-anak pun sah-sah saja Anda lakukan. Bila Anda pecinta yoga, pantai ini adalah tempat yang tepat untuk berlatih yoga. Pantai yang sepi dan tenang menciptakan suasana damai sehingga sangat cocok untuk berlatih yoga dan meditasi.

Letak Pantai Karma Kandara yang tersembunyi di balik tebing, membuat pantai ini selalu terjaga dan bebas polusi. Pantai Karma Kandara sangat sepi tidak seperti kebanyakan pantai lainnya di Bali. Pantainya bersih dan masih alami, nggak ada secuil pun sampah terlihat di pantai. Memang belum banyak orang yang tahu keberadaan pantai ini. Pengunjungnya kebanyakan adalah turis asing yang merupakan tamu Hotel Karma Kandara ataupun Nammos Beach Club. Turis lokal belum banyak yang mengetahui keberadaan pantai ini. Kalaupun ada, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Mereka tahu Pantai Karma Kandara dari mulut ke mulut.

Setiap sudut Pantai Karma Kandara begitu cantik dan eksotis

Belakangan ini, Pantai Karma Kandara mulai banyak dibicarakan orang. Keindahan pantai yang tersembunyi ini membuat penasaran banyak orang untuk mengunjunginya. Turis lokal dari Jakarta sudah banyak yang berdatangan ke pantai ini. Saya berharap, semoga Pantai Karma Kandara tetap bersih dan indah walau nanti dikunjungi banyak orang.

Pantai Karma Kandara memang luar biasa. Setiap sudutnya begitu indah dan mempesona. Keindahan alam dan ketenangan suasana yang ditawarkan pantai ini membuat jatuh hati siapapun yang melihatnya. Saya pun jatuh cinta pada pantai ini. Nggak heran kalau Pantai Karma Kandara dinobatkan sebagai pantai terindah di Bali. (edyra)***
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

MEMANDANG WAJAH BANGKOK DARI SUNGAI CHAO PHRAYA

Sungai Chao Phraya yang bersih dan tenang

Chao Phraya artinya sungai raja (River of Kings). Sesuai dengan namanya, Sungai Chao Phraya merupakan sungai terpanjang dan terpenting di Thailand, dengan panjang sekitar 372 kilometer. Sungai ini melintasi 20 provinsi di Thailand dan bermuara di Teluk Thailand. Sungai Chao Phraya merupakan pertemuan dari lima sungai kecil : Sungai Pa Sak, Sakae Krang, Nan, Ping, dan Tha Chin di daerah Nakhon Sawan yang berada di wilayah utara Thailand. Di sepanjang sungai yang membelah Kota Bangkok ini banyak terdapat Kuil Budha (dalam Bahasa Thai disebut Wat) yang cantik dan megah. Menyusuri Sungai Chao Phraya merupakan agenda wajib bagi para turis yang berkunjung ke Bangkok. Dengan naik perahu (kapal kayu) menyusuri Sungai Chao Phraya, Anda akan mendapatkan pengalaman yang seru dan bisa melihat Bangkok dari sudut yang berbeda.

Wat Arun (Temple of Dawn) yang megah di tepi Sungai Chao Phraya

Saya pun tak mau melewatkan kesempatan menyusuri Sungai Chao Phraya ketika liburan ke Bangkok tahun 2008 yang lalu. Saya sudah menjelajahi Bangkok dengan berbagai sarana transportasi darat, baik bus kota, kereta bawah tanah (subway/MRT), maupun skytrain (saya kesulitan mencari padanannya dalam Bahasa Indonesia). Jadi, tinggal sarana transportasi air/sungai (perahu) yang belum saya coba di Bangkok. Kebetulan saya menginap di sebuah hostel di Silom Road, nggak jauh dari Lumpini Park, sehingga untuk bisa menyusuri Sungai Chao Phraya saya harus naik skytrain dari Stasiun Sala Daeng dan turun di Stasiun Saphan Taksin.

Dermaga apung (pier) di tepi Sungai Chao Phraya

Begitu sampai di Stasiun Saphan Taksin, Anda akan melihat banyak tour operator yang menawarkan paket tur menyusuri Sungai Chao Phraya. Berbagai paket tur menarik ditawarkan kepada para turis dilengkapi dengan foto-foto yang indah. Sayangnya, berbagai paket tur tersebut harganya relatif mahal (lebih dari THB 1000). Bagi Anda yang baru pertama kali berkunjung ke Bangkok harus hati-hati. Jangan mudah tergoda dengan berbagai tawaran paket tur tersebut. Berjalanlah keluar stasiun, ke arah Sungai Chao Phraya, dan sampailah Anda di Dermaga Sathorn (Sathorn Pier), titik awal untuk menjelajahi Sungai Chao Phraya.

Setiap hari banyak perahu yang menyusuri Sungai Chao Phraya

Ada dua pilihan yang menarik untuk menyusuri Sungai Chao Phraya. Pilihan pertama, bagi Anda yang nggak mau repot dan nggak mau ambil risiko salah naik perahu, Anda bisa ikut perahu khusus turis, dengan membeli tiket one day river pass seharga THB 150 per orang. Tiket ini berlaku untuk satu hari penuh. Anda bisa naik turun perahu di dermaga mana saja yang Anda suka, selama Anda masih memegang tiket. Jadi tiketnya simpan baik-baik ya, jangan sampai hilang! Kalau Anda tertarik mengikuti tur ini, Anda harus menyisihkan waktu sekitar 4 jam (pulang pergi). Sebaiknya Anda datang ke Sathorn Pier pagi hari sehingga Anda lebih leluasa menjelajahi Sungai Chao Phraya dan bisa mampir ke berbagai tempat wisata menarik di pinggir sungai. Perahu untuk turis cukup besar, bisa mengangkut sekitar 120 orang, dan ada pemandu berbahasa Inggris. Perahu ini akan menyusuri Sungai Chao Phraya dan berhenti di beberapa dermaga yang dekat dengan tempat-tempat wisata.

Rama VIII Bridge, salah satu jembatan di atas Sungai Chao Phraya

Pilihan kedua, naiklah perahu reguler (public boat) bersama dengan Warga Bangkok dan para turis lainnya. Perahu ini beroperasi setiap hari, dari jam 06.00 hingga 19.30 (Senin sampai Jumat) dan dari jam 06.00 sampai jam 18.40 (Sabtu, Minggu, dan hari libur). Tarif public boat ini yang cukup murah, dari THB 9 sampai THB 30, tergantung panjang rute yang ditempuh. Inilah pilihan yang saya ambil. Sebagai backpacker yang suka tantangan dan nggak suka diatur-atur (sekalian bisa ngirit) saya memilih naik public boat supaya bisa berbaur dengan penduduk lokal dan para turis. Perahu ini merupakan salah satu sarana transportasi pen tingdi Bangkok. Warga Bangkok yang bekerja (berkantor) di pinggir Sungai Chao Phraya dan nggak ingin terjebak macet di jalanan Kota Bangkok, lebih memilih naik perahu daripada naik bus ataupun angkutan darat lainnya. Dengan naik public boat ini, kita bisa melihat Warga Bangkok yang cantik-cantik dan modis-modis. Rute public boat ini ada beberapa jalur : merah, hijau, kuning dan orange. Pilihlah yang orange, karena jalur ini akan singgah di Grand Palace dan Wat Pho. Jangan sampai salah naik perahu! Soalnya, kalau salah Anda akan terbawa ke tempat lain. Di setiap perahu ada bendera yang berwarna sama dengan warna jalurnya. Namun, Anda bisa salah naik karena pengumuman selalu menggunakan Bahasa Thai, bukan Bahasa Inggris.

Bila Anda memilih naik public boat, Anda tidak perlu membeli tiket di dermaga. Di atas perahu, ada kondektur (sebagian besar perempuan) yang akan menarik ongkos kepada Anda, persis seperti kalau kita naik bus kota di Indonesia. Carilah tempat duduk di bagian pinggir supaya bisa melihat pemandangan indah di sepanjang sungai dan mudah mengabadikannya dengan kamera Anda. Jangan pilih duduk di bangku paling depan kalau Anda tidak ingin terciprat air. Bila sungai sedang berombak ataupun berpapasan dengan perahu lain, penumpang yang duduk di bangku paling depan biasanya akan terciprat air sungai yang keruh. Namun, bila Anda naik perahu pas jam sibuk (jam berangkat dan pulang kantor), biasanya perahu sangat ramai dan penuh sesak. Jangan harap Anda bisa memilih tempat duduk yang strategis. Sebaliknya, bisa saja Anda tidak kebagian tempat duduk dan harus berdiri berdesakan dengan penumpang lain. Jadi nikmati saja, berdiri berdesakan di atas perahu sambil menyaksikan pemandangan menarik di sepanjang Sungai Chao Phraya. Syukur kalau kita berdesakan dengan turis ataupun cewek Thailand yang cantik. Walaupun harus berdiri lama di atas perahu,nggak masalah kan?

Salah satu hotel berbintang (The Peninsula Hotel) di tepi Sungai Chao Phraya

Perjalanan menyusuri Sungai Chao Phraya sangat menyenangkan. Apalagi sungai ini cukup luas dan bersih. Air Sungai Chao Phraya memang berwarna coklat keruh, karena sungai ini membawa endapan lumpur. Namun, sungai ini sangat bersih. Tak terlihat satupun sampah di permukaan sungai. Kalaupun ada, hanya tanaman enceng gondok di bebarapa tempat. Soalnya ada peraturan yang menyatakan, “barangsiapa membuang sampah di sungai akan dikenakan denda THB 20.” Alhasil, Sungai Chao Phraya pun bersih dan nggak bau. Saya benar-benar salut dan iri pada pemerintah Thailand yang bisa menjaga sungainya tetap bersih sehingga bisa menjadi tujuan wisata. Kapan ya, sungai-sungai di Indonesia bisa bersih dan tidak bau seperti Sungai Chao Phraya? Padahal Indonesia memiliki banyak sungai besar yang nggak kalah indahnya dengan Sungai Chao Phraya.

Grand Palace yang megah dan nggak pernah sepi turis

Reclining Giant Buddha in Wat Pho

Di sepanjang Sungai Chao Phraya Anda akan melihat berbagai pemandangan menarik, antara lain Grand Palace (Istana Raja Thailand), kuil-kuil Budha (Wat), hotel berbintang, pasar tradisional, dan beberapa jembatan yang cantik. Sebagai informasi, terdapat 15 dermaga (pier) di sepanjang Sungai Chao Phraya. Anda bisa turun di dermaga mana saja yang paling dekat dengan tempat tujuan Anda. Yang penting, jangan lupa membawa Peta Bangkok, agar Anda tidak nyasar ataupun salah turun dermaga. Di antara tempat-tempat menarik tersebut, yang menjadi favorit para turis ada 5 tempat yaitu : Wat Arun (Temple of Dawn), Wat Pho (Kompleks Kuil Budha dengan Patung Budha tidur yang sangat besar di dalamnya), Grand Palace, Wat Phra Kaew (satu kompleks dengan Grand Palace) dan The Royal Barges Museum. Kalau saya paling suka turun di Tha Tian Pier (dermaga N7) atau Tha Chang Pier (dermaga N8). Dari Sathorn Pier ke Tha Tian Pier atau Tha Chang Pier saya hanya perlu membayar THB 13 (sekitar Rp 3.700,00). Kedua dermaga tersebut paling dekat dengan Grand Palace Complex dan Wat Pho, tempat wisata paling terkenal di Bangkok, yang nggak pernah sepi turis. Dari Grand Palace ataupun Wat Pho, Anda bisa jalan kaki menuju tempat-tempat wisata lainnya yang nggak jauh dari kedua tempat tersebut. Ada Sanam Luang Park, National Museum, Phrasumain Fortress, Khao San Road (pusat backpacker di Bangkok), Wat Mahathat, dan Wat-Wat lainnya. Perlu Anda ketahui, untuk masuk ke berbagai tempat wisata tersebut, sebagian besar dipungut biaya. Namun, nggak mahal. Yang paling mahal adalah tiket masuk ke Grand Palace, THB 350. Untuk masuk ke Kuil Budha (Wat) sebagian besar gratis, kecuali Wat Pho (tiket masuknya THB 50).

Phrasumain Fortress

Bila sudah lelah berjalan, Anda bisa duduk-duduk di Sanam Luang Park sambil bermain-main dengan burung merpati yang banyak terdapat di sana. Kalau Anda ingin berfoto dengan dikerubutin banyak burung merpati, Anda tinggal beli sebungkus biji jagung dari para penjual yang ada di sana. Anda juga bisa membeli makanan dan minuman ringan dari pedagang asongan yang banyak berjualan di Sanam Luang Park.

Bermain-main dengan burung merpati di Sanam Luang Park

Untuk kembali ke hotel (setelah menjelajah Grand Palace, Wat Pho, dan Wat-Wat lainnya), Anda bisa memilih dermaga terdekat untuk naik perahu lagi sampai ke Sathorn Pier dan berjalan sampai Stasiun Saphan Taksin. Selanjutnya Anda tinggal naik sky train lagi menuju stasiun yang paling dekat dengan hotel Anda.

Dengan biaya yang murah meriah (tanpa ikut tur), Anda bisa menyusuri Sungai Chao Phraya dan menjelajahi tempat-tempat menarik di Bangkok. Anda bisa melihat wajah Bangkok yang berbeda di sepanjang Sungai Chao Phraya, bukan hanya jalanan Bangkok yang ramai dan macet. Jadi, bila Anda berkunjung ke Bangkok, jangan lupa untuk menyusuri Sungai Chao Phraya. Saya jamin, Anda akan mendapatkan pengalaman baru yang menakjubkan. (edyra)***

*Dimuat di Majalah SEKAR No. 34, Juni 2010
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

HANOI, KOTA SEJUTA SEPEDA MOTOR NAN BERDEBU

Ada apa di Hanoi? Mau ngapain ke Hanoi? Emangnya aman ya, di Hanoi? Itulah sederet pertanyaan yang diajukan teman-teman, ketika saya mengutarakan niat untuk berlibur ke Hanoi, Vietnam. Bagi orang Indonesia, Hanoi (Hà Nội, menurut ejaan Vietnam) memang kurang populer dan bukan tempat liburan favorit. Orang Indonesia (terutama orang Jakarta) yang kebanyakan suka belanja, lebih familiar dengan Singapura, Bangkok ataupun Hongkong. Padahal, Hanoi nggak kalah menariknya dengan kota-kota tersebut. Ibu kota pemerintahan Republik Sosialis Vietnam ini menyimpan berjuta pesona yang akan menjerat siapa saja yang mengunjunginya.

Sepeda motor di Hanoi sangat banyak dan nggak disiplin dalam berlalu lintas

Kota Sejuta Sepeda Motor
Kota sejuta sepeda motor. Itulah salah satu julukan yang disandang Hanoi, karena begitu banyaknya sepeda motor di sana. Sepeda motor mirip di Hanoi mirip lebah. Bergerombol, menderu, dan menerjang bebas. Mereka menyusup ke kanan dan kiri, menguasai jalanan Hanoi yang sempit dan berdebu dan tak peduli dengan pengguna jalan yang lain. Mereka juga tak peduli dengan keselamatan diri mereka. Kebanyakan tak mengenakan helm dan sepertinya juga tak paham rambu-rambu lalu lintas. Di jalan yang sangat ramai dan semrawutnya minta ampun (Jakarta kalah semrawut bo!), mereka dengan santainya menggunakan ponsel baik untuk mengirim pesan singkat (SMS) ataupun menelepon. Parahnya lagi, mereka sangat suka membunyikan klakson yang sangat nyaring bunyinya. Bisa Anda bayangkan, betapa berisiknya jalanan di Hanoi pada saat jam-jam sibuk. Apalagi polisi juga jarang terlihat di jalanan Hanoi. Semakin berkuasalah para pengendara sepeda motor itu.

Menyeberang jalan adalah saat-saat paling mendebarkan dan menyeramkan di Hanoi. Saya selalu sport jantung bila akan menyeberang jalan di sana. Saya sampai harus menunggu bermenit-menit di trotoar, menunggu jalanan sepi untuk menyeberang. Padahal, menunggu jalanan sepi di Hanoi bagaikan menanti hujan turun di musim kemarau alias lama banget dan nggak mungkin (kecuali di larut malam atau di waktu subuh). Biasanya saya ikut penduduk lokal ataupun rombongan turis untuk menyeberang jalan agar lebih aman. Namun, bila terpaksa harus menyeberang jalan sendirian, saya pasti berdoa dulu sebelum menyeberang. Jangankan menyeberang jalan, berjalan di trotoar saja tidak aman di Hanoi. Beberapa kali saya hampir terserempet sepeda motor ketika sedang berjalan di trotoar. Trotoar di Hanoi sangat sempit, dan biasanya penuh dengan pedagang kaki lima ataupun sepeda motor yang sedang diparkir.

Kota Sejuta Toko
Selain sepeda motor yang sangat banyak (jumlahnya mencapai lebih dari 1.500.000 unit), di Hanoi juga terdapat banyak toko dengan berbagai macam barang yang dijual. Nggak heran kalau Hanoi juga mendapat julukan sebagai “kota sejuta toko.” Saya baru kali ini melihat toko begitu banyak di sebuah kota. Toko tersebar merata di seluruh sudut Hanoi. Hampir setiap rumah di pinggir jalan adalah toko. Apalagi di Old Quarter (Kota Tua Hanoi) dan French Quarter. Semua rumah di pinggir jalan adalah toko atau tempat usaha, baik restoran, kafe ataupun biro perjalanan (travel agent). Hanya di beberapa tempat saja tidak terdapat toko, yaitu di kompleks perkantoran pemerintah dan di pusat kota (sekitar Istana Presiden dan Mausoleum Ho Chi Minh). Saya sampai heran dan bertanya-tanya. Kalau semuanya jadi pedagang, siapa yang jadi dokter, guru, pengacara dan lain-lain ya?

Berfoto di West Lake saat senja menjelang

Kota Seribu Danau
Selain dua julukan di atas, Hanoi juga masih mempunyai satu julukan lagi, yaitu “kota seribu danau.” Puluhan danau menghiasi berbagai penjuru Hanoi. Di antara puluhan danau tersebut, yang paling terkenal adalah Hoan Kiem Lake, West Lake (Hồ Tây), Truc Bach Lake, Halais Lake (Hồ Thiền Quang dalam Bahasa Vietnam), dan Bay Mau Lake. Danau terbesar adalah West Lake. Danau ini terletak di bagian utara Hanoi, berdekatan (sebelahan) dengan Truc Bach Lake. Di sekitar West Lake dan Truc Bach Lake terdapat beberapa hotel berbintang, restoran, dan kuil/pagoda. Kedua danau ini cukup cantik dan asri karena banyak pepohonan di pinggir danau. Sayangnya banyak sampah di kedua danau tersebut sehingga airnya nggak bening lagi. Waktu paling tepat untuk berkunjung ke kedua danau ini adalah sore hari, menjelang matahari terbenam (sunset). Panorama sunset di sekitar West Lake dan Truc Bach Lake sangat cantik dan sayang untuk dilewatkan.

Hoan Kiem Lake yang cantik dan tenang

Danau favorit para turis dan Warga Hanoi adalah Hoan Kiem Lake. Selain cantik dan bersih, danau ini terletak di pusat kota Hanoi. Danau yang menjadi pusat wisata di Hanoi ini adalah tempat nongkrong paling asyik. Di tengah Hoan Kiem Lake terdapat sebuah kuil/pagoda (Turtle Pagoda) yang selalu dipadati Warga Hanoi dan para turis. Di sekeliling danau dibangun trotoar sehingga memudahkan orang untuk berjalan mengelilinginya. Pepohonan yang rindang juga memagari danau ini. Nggak heran kalau Hoan Kiem Lake selalu ramai sepanjang hari. Warga Hanoi dan para turis selalu memadati danau ini baik untuk berolahraga (jogging dan taichí), jalan-jalan ataupun sekedar duduk-duduk santai sambil membaca buku di bangku yang banyak terdapat di pinggir danau. Bagi peminat wisata kuliner, Hoan Kiem Lake juga layak direkomendasikan. Kafe dan restauran bertebaran di sepanjang tepian danau. Tinggal pilih makanan lokal, makanan cepat saji (fast food) maupun makanan internasional (China, Thailand, Eropa, Amerika, dan lain-lain) semua tersedia.

Penuh Bangunan Klasik
Di Hanoi yang berpenduduk sekitar 3 juta jiwa ini, kita tak akan disuguhi pemandangan khas kota besar yang serba gemerlap ataupun hiburan malam yang hingar-bingar. Mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan gedung-gedung klasik nan cantik peninggalan Perancis, pagoda-pagoda peninggalan Kekaisaran Vietnam, taman-taman yang luas, serta danau-danau yang indah dan tenang. Sebagai informasi, Vietnam dijajah Perancis dari tahun 1874 sampai dengan tahun 1945. Vietnam mendapat kemerdekaanya dari Perancis, pada tanggal 2 September 1945. Nggak heran kalau bangunan bergaya Perancis banyak terdapat di Hanoi.

Hanoi Opera House

Bagi peminat arsitektur, Hanoi adalah kota yang akan memanjakan selera Anda terhadap seni bangunan. Bangunan-bangunan bergaya gothic sampai art deco ada di setiap sudut kota. Cobalah berjalan jalan di sekitar kawasan diplomatik di Ngo Quyen Street, kawasan perkantoran pemerintah di Dhin Tien Hoang Street, dan sekitar Mausoleum Ho Chi Minh. Bangunan peninggalan Perancis yang paling menonjol di Hanoi adalah Hanoi Opera House dan Hanoi Cathedral. Kedua bangunan ini sangat cantik dan khas Perancis.

Hanoi Cathedral

Jangankan bangunan peninggalan Perancis yang relatif “masih muda” (dibangun pada abad ke-19), artefak yang berasal jauh dari masa sebelumnya juga masih utuh. Pemerintah Vietnam yang komunis sangat menghargai warisan bangsanya, meskipun ada kaitannya dengan imperialisme Cina maupun Perancis. Bangunan-bangunan peninggalan Dinasti Ly yang memerintah Kerajaan Vietnam di abad ke-11 juga masih lestari, misalnya One Pillar Pagoda. Pagoda ini adalah pagoda yang unik, karena bangunan yang berdiri di atas kolam ini hanya ditopang sebuah tiang besar setinggi kurang lebih 3 meter. One Pillar Pagoda yang menjadi inspirasi Unity Vietnam masih teguh berdiri hingga kini, sejak dibangun pada tahun 1049. Meskipun pernah beberapa kali hancur akibat penjajahan Perancis sampai Perang Vietnam, pemerintah terus saja merestorasi One Pillar Pagoda sehingga tetap utuh.

Mausoleum Ho Chi Minh


Museum Ho Chi Minh di Hanoi

Kaya dengan Museum
Hanoi juga memiliki tempat-tempat bersejarah yang layak dikunjungi turis. Di antaranya Museum dan Mausoleum Ho Chi Minh, Taman Lenin, Museum Militer Vietnam, dan Museum Fine Art. Yang paling ramai dikunjungi para turis adalah Kompleks Mausoleum Ho Chi Minh. Di mausoleum ini terbaring jenazah Ho Chi Minh yang sudah dibalsem dan dijaga oleh sepasukan tentara bersenjata lengkap. Ho Chi Minh, Bapak Bangsa Vietnam ini wafat pada tahun 1969 dalam usia 79 tahun. Untuk mengenang perjuangannya, jenazahnya disimpan di mausoleum. Di belakang mausoleum, terdapat rumah tinggal Ho Chi Minh yang dibangun dari kayu sederhana. Bangunan ini sekarang dijadikan museum. Setiap pengunjung dapat melihat ruang kerjanya, kamar tidurnya, dan ruang tamu. Sebagai informasi, mausoleum ini buka setiap hari dari jam 09.00- 17.00 dan tutup pada hari Jumat.

Hanoi memang kota yang menarik, terlepas dari segala keruwetan lalu lintas di sana. Ada banyak hal menarik yang bisa kita lihat di Hanoi. Jadi kapan Anda akan berkunjung ke Hanoi? (edyra)***

*Dimuat di Majalah SEKAR No. 42, Oktober 2010.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

WARNA-WARNI DAMNOEN SADUAK FLOATING MARKET

Perahu untuk berkeliling Damnoen Saduak Floating Market

Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.00 di Hari Sabtu, 9 Januari 2010, saya bersama Imel jalan kaki dari kawasan Silom Road, Bangkok menuju Stasiun Kereta Api Hualampong. Hari ini kami akan mengunjungi salah satu ikon pariwisata Thailand, yang sering menghiasi kartu pos dan kaos souvenir dari Thailand, yaitu Pasar Terapung Damnoen Saduak (nama kerennya Damnoen Saduak Floating Market). Pasar terapung itu terletak di Provinsi Ratchaburi, sekitar 110 km dari Bangkok. Ketika ke Bangkok tahun 2008 lalu, saya belum sempat mengunjunginya karena keterbatasan waktu. Makanya, begitu punya kesempatan mengunjungi Bangkok lagi, saya mengalokasikan waktu untuk mengunjungi pasar terapung yang sudah sangat tersohor itu.

Berdasarkan informasi yang saya dapat dari internet (backpacker harus bersahabat dekat dengan internet), cara termurah (kalau nggak mau ikut tur) untuk menuju Damnoen Saduak Floating Market adalah dengan naik bus nomor 78 dari Bangkok Southern Bus Terminal (nama Thainya Sai Tai Mai). Dari terminal tersebut, perjalanan ke Damnoen Saduak Floating Market akan memakan waktu sekitar dua jam.

Bangkok Southern Bus Terminal jaraknya cukup jauh dari pusat kota Bangkok, yaitu sekitar 25 km. Cara paling praktis dan cepat mencapai terminal tersebut adalah dengan naik taxi. Berhubung kami ogah naik taxi (baca mau menghemat), kami memilih naik bus kota untuk menuju ke sana. Sayangnya bus kota yang menuju Bangkok Southern Bus Terminal jarang banget. Sialnya lagi, sebagian besar bus di Bangkok hanya mencantumkan nama kota/jurusan yang dituju dalam Bahasa Thai, yang hurufnya keriting. Jarang sekali bus yang mencantumkan nama kotayang dituju dalam tulisan latin. Dari informasi yang saya dapat dari petugas hotel, untuk menuju Bangkok Southern Bus Terminal kami harus pergi ke halte bus dekat Stasiun Kereta Api Hualampong dan naik bus nomor 14. Ribet juga ya, kalau ingin menghemat?

Kami berjalan kaki menyusuri jalan-jalan protokol di Kota Bangkok menuju Stasiun Kereta Api Hualampong. Ketika kami sampai di Rama IV Road, kami melihat bus nomor 14 lewat. Kami pun berhenti di halte terdekat untuk menunggu bus nomor 14. Kami sudah capek berjalan, makanya nggak melanjutkan jalan kaki ke Stasiun Hualampong, yang ternyata cukup jauh. Ketika ada bus nomor 14 lewat, kami pun segera menyetopnya. Bus berhenti dan kami pun naik bus. Saya langsung bilang ke kondektur bus bahwa tujuan kami adalah Bangkok Southern Bus Terminal. Sayangnya, dia tidak bisa berbahasa Inggris. Dia nggak mengerti apa yang saya maksud. Ketika saya bilang Sai Tai Mai, baru dia ngerti. Dan ternyata kami salah naik bus. Seharusnya kami naik bus yang sama tapi dengan arah yang berlawanan (dari seberang jalan). Kami pun segera menuju halte di seberang jalan, dan naik bus yang sama setelah menunggu lumayan lama. Ternyata kami salah bus lagi. Waduh, gimana nih? Ternyata info yang diberikan oleh petugas hotel dan kondektur bus nggak valid tuh. Kami pun segera turun dari bus, setelah dikasih tahu oleh kondektur bus (dengan menuliskan nomor bus di kertas), bus yang harus kami ambil untuk menuju Bangkok Southern Bus Terminal.

Sialnya, bus yang kami tunggu nggak ada yang lewat. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 07.30. Padahal, waktu terbaik untuk berkunjung ke Damnoen Saduak Floating Market adalah dari jam 08.00 sampai jam 10.00 pagi. Karena kami nggak ingin buang-buang waktu ataupun salah naik bus lagi, kami pun memutuskan untuk naik taxi ke Bangkok Southern Bus Terminal.

Nggak sampai setengah jam, kami pun sampai di Bangkok Southern Bus Terminal. Biaya taxi cuma THB 125 (sekitar Rp 36.250,00). Ternyata nggak mahal-mahal amat. Tahu gini, mending naik taxi dari tadi, deh. Jadi kami nggak perlu capek-capek jalan kaki dan naik turun bus karena salah jurusan.

Bus No. 78 yang menuju Damnoen Saduak Floating Market

Bangkok Southern Bus Terminal (di sana namanya tertulis Bangkok Bus Terminal), cukup besar tapi sunyi sepi. Tidak banyak kendaraan yang berseliweran. Pedagang asongan pun nggak banyak. Terminal ini merupakan pangkalan bus yang menuju kota-kota di Thailand bagian selatan, antara lain : Damnoen Saduak, Phuket, Krabi, Surat Thani, dan Hat Yai. Kami segera mencari bus nomor 78 (jurusan Damnoen Saduak), yang tempat ngetemnya berada di bagian kiri terminal. Sekitar jam 08.00, setelah bus terisi beberapa penumpang, bus pun segera berangkat. Di tengah jalan, bus berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Biaya transportasi dari Bangkok Southern Bus Terminal ke Damnoen Saduak cukup murah, hanya THB 64 per orang.

Peta Damnoen Saduak Floating Market

Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, kami pun sampai di Terminal Bus Damnoen Saduak. Begitu kami tiba, kami langsung disambut seorang perempuan yang menawarkan perahu untuk menuju ke pasar terapung. Di dekat terminal tersebut terdapaat semacam dermaga yang merupakan titik awal perahu untuk menuju Damnoen Saduak Floating Market. Biaya sewa perahu, THB 300 per orang. Kami akan diantarkan oleh seorang tukang perahu (nahkoda) untuk berkeliling pasar, belanja ataupun foto-foto selama kurang lebih satu jam. Kami tawar THB 500 untuk dua orang, nggak dikasih. Menurut perempuan tersebut, tarif itu adalah tarif sewa standar. Bahkan dia sampai menunjukkan Buku Lonely Planet, yang menjelaskan bahwa biaya sewa perahu ke Damnoen Saduak Floating Market adalah THB 300 per orang. Ya udah deh, kami ambil. Soalnya, menurut informasi di internet, biaya sewa perahu memang segituan juga.

On the boat to Damnoen Saduak Floating Market

Kami segera memulai petualangan di Damnoen Saduak, dengan naik perahu yang digawangi seorang nahkoda. Asyik nih, naik perahu menyusuri kanal-kanal (dalam Bahasa Thai disebut Khlongs) sempit, menuju pasar terapung. Perahu melaju kencang, membelah kanal sempit yang lebarnya hanya sekitar dua meter. Air di kanal tersebut berwarna coklat keruh tapi nggak ada sampahnya. Sesekali perahu berpapasan atau bersimpangan dengan perahu lainnya yang kebanyakan juga mengangkut turis. Saya sampai ketakutan kalau perahu berpapasan dengan perahu lainnya. Sepertinya perahu akan bertabrakan. Bisa berabe kan, kalau perahu bertabrakan dan kita kecebur ke dalam kanal yang airnya coklat keruh? Namun, nahkoda kami cukup jago menjalankan perahun. Soalnya, memang pekerjaannya sehari-hari. Perahu terus melaju dengan kencang, berbelok kanan kiri menyusuri kanal-kanal sempit. Kami melewati perkampungan penduduk yang kebanyakan berbentuk rumah panggung yang didirikan di atas air, di kanan kiri kanal.

Beberapa saat kemudian, kami mulai melihat pedagang cendera mata di pinggir kanal. Kebanyakan berjualan souvenir khas Thailand. Pedagang yang menjajakan dagangannya di atas perahu juga mulai terlihat. Ketika memasuki lokasi pasar, suasana semakin ramai. Kanal penuh sesak dengan perahu pedagang maupun perahu turis. Bahkan, di beberapa tempat (pertigaan/ perempatan kanal), terjadi kemacetan. Perahu berhenti total karena kanal yang sangat sempit dipenuhi oleh banyak perahu yang akan menuju ke lokasi pasar terapung. Ternyata kemacetan, bukan hanya di jalan darat ya? Di kanal/sungai pun terjadi kemacetan.

Pedagang souvenir yang lucu-lucu

Damnoen Saduak Floating Market sangat ramai dengan pedagang dan pengunjung (turis). Pedagang kue (jajan pasar) dan camilan yang kelihatannya lezat dan menggiurkan, berkeliling di kanal-kanal, menjajakan dagangannya kepada para pengunjung. Pedagang buah-buahan dan sayur-sayuran segar juga banyak berseliweran di sekitar perahu kami. Buah-buahan yang ranum dan segar seperti duku, jeruk, jambu, manggis, lengkeng, dan buah naga (yang gede banget) sangat menggoda saya. Pedagang souvenir khas Thailand kebanyakan berada di kios permanen ataupun di perahu, di pinggir kanal.

Vegetable Springroll yang gurih dan lezat


Saya pun tergoda untuk membeli seporsi vegetable springroll (semacam lumpia di Indonesia) dari pedagang kue yang lewat di samping perahu saya. Bentuk springroll-nya kotak-kotak kecil, tidak seperti lumpia di Indonesia yang panjang. Cara makannya cukup unik, yaitu dengan sebatng lidi gigi dan dilengkapi dengan saus sambal yang rasanya rame (manis, asem, asin, dan pedas). Rasanya, hmmm…yummy! Dalam sekejab, spring roll lezat itu pun habis tak tersisa.

Pedagang buah di Damnoen Saduak Floating Market

Ketika perahu kami berpapasan dengan penjual buah lengkeng yang besar-besar (pastinya lengkeng Bangkok), saya pun meminta nahkoda perahu untuk memperlambat laju perahu. Sejak memasuki areal pasar, saya memang telah melihat banyak pedagang buah lengkeng, tapi mereka agak jauh dari perahu kami. Pedagang buah pun mendekati perahu kami, sambil menarik perahu kami dengan sebatang kayu kecil yang ujungnya ada kaitannya. Sungguh unik dan lucu. Setelah terjadi kesepakatan harga, saya pun membeli buah lengkeng yang besar-besar tersebut. Kata Imel, beratnya sekitar 1,25 kg (Dia melihatnya ketika pedagang buah tersebut sedang menimbangnya). Lengkengnya bener-bener manis dan segar.

Melihat warung-warung makanan di pinggir sungai, yang menjual berbagai makanan lezat dan ramai dikerubutin para turis, kami ingin berhenti barang sejenak untuk membeli makanan lagi. Kayanya semua makanan di pasar terapung ini lezat dan menggoda. Sayangnya nahkoda kami nggak mengizinkannya. Dia terus memacu perahunya (kali ini lebih lambat), membelah kanal-kanal di Damnoen Saduak.

Nahkoda menghentikan perahu di ujung kanal, di depan kompleks pedagang cendera mata dan tempat pembuatan gula kelapa. Rupanya, setiap nahkoda perahu memiliki pedagang langganan. Dia akan mendapat komisi bila turis yang diantarnya berbelanja. Pantesan, tadi si nahkoda nggak mau berhenti waktu kami minta berhenti di kompleks penjual makanan yang ramai turis.

Kami diberi waktu 10 menit untuk berkeliling di area tersebut. Begitu kami tiba, kami diberi welcome drink yang berupa es nira segar. Setelah puas berkeliling di kompleks pertokoan tersebut, kami kembali naik perahu, untuk balik ke terminal. Kami tidak membeli apapun di tempat tersebut, karena souvenir yang dijual kebanyakan mirip dengan souvenir-souvenir yang dijual di berbagai art shop di Bali. Ngapain juga jauh-jauh ke Thailand beli barang yang sudah ada di Indonesia?

Dalam perjalanan balik ke terminal, kami sempat membeli souvenir lucu dari pedagang di pinggir kanal. Souvenir khas Damnoen Saduak Floating Market berupa miniatur perahu dengan pedagang buah dan berbagai macam buah di atasnya. Setelah kami tawar, pedagang melepas barang dengan harga THB 100 per buah. Saya dan Imel masing-masing membeli satu.

Selanjutnya nahkoda memacu perahu dengan kencang, melewat rute yang sama seperti saat kami berangkat tadi. Tak terasa, sampailah kami di Terminal Bus Damnoen Saduak. Kami harus segera mencari bus untuk kembali ke Bangkok. Petualangan yang unik dan seru di Damnoen Saduak Floating Market pun berakhir. Benar-benar pengalaman yang sangat menyenangkan dan pastinya nggak akan terlupakan. (edyra)***
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

NOI BAI INTERNATIONAL AIRPORT, AIRPORT DENGAN BERBAGAI “KEAJAIBAN”

Noi Bai International Airport yang penuh dengan "keajaiban"

Pukul 08.40 Waktu Hanoi (sama dengan WIB), pesawat Thai Air Asia yang membawa saya dari Bangkok mendarat dengan mulus di Noi Bai International Airport, Hanoi, Vietnam. Hujan rintik-rintik dengan disertai kabut tipis menyambut kedatangan saya dan Imel (teman jalan asal Bandung), seolah mengucapkan “Selamat Datang di Vietnam.” Untungnya, begitu keluar pesawat kami langsung melewati garbarata sehingga tidak perlu berhujan-hujan kedinginan. Saat kedatangan kami di Bulan Januari tersebut, Hanoi memang sedang mengalami musim dingin, yang menurut informasi suhu udara hanya berkisar antara 10-16°C. Suhu yang sangat dingin untuk kami yang biasa tinggal di daerah tropis. Apalagi saya tinggal di Bali yang selalu panas, dengan suhu udara harian bisa mencapai 32°C.

Begitu memasuki terminal bandara, saya langsung mencari toilet. Saya harus menuntaskan hasrat buang air kecil dulu, sebelum antri di counter imigrasi. Secara, antri di imigrasi biasanya memakan waktu lama. Belum lagi, kalau ada masalah (untungnya selama ini saya nggak pernah bermasalah). Jadi tambah lama, deh. Padahal saya sudah menahan kencing sejak di pesawat. Ditambah udara dingin, yang hanya belasan derajat celcius, membuat hasrat saya untuk ke toilet semakin tak tertahankan. Ternyata Imel juga kompak pengen ke toliet dulu sebelum antri di imigrasi. Kami sepakat untuk antri bareng di imigrasi setelah dari toilet. Denger-denger imigrasi di Noi Bai International Airport cukup ketat. Jadi kami harus antri bareng, biar gampang berkomunikasi bila nanti terjadi masalah.

Saya segera menuju counter imigrasi setelah urusan toilet beres. Saya dan Imel mengantri di counter imigrasi yang sama. Kami melihat ke sekeliling dengan keheranan. Ini bandara kok sepi banget, ya? Secara Noi Bai, merupakan bandara internasional di ibukota negara. Suasananya sangat jauh berbeda dengan bandara-bandara internasional di negara lain yang pernah saya kunjungi. Meski arealnya cukup luas, suasananya sepi sekali. Counter imigrasinya nggak banyak dan saat itu hanya dibuka tiga counter. Petugas imigrasinya muda-muda dan cakep-cakep. Berkulit kuning bersih dan mata agak-agak sipit, tapi nggak sesipit Orang Cina atau Korea. Semuanya berpenampilan menarik dan sedap dipandang mata. Kayanya Pemerintah Vietnam memang sengaja memilih petugas imigrasi yang muda dan berpenampilan menarik untuk menyambut kedatangan para turis di negaranya. Namun, seperti kebanyakan petugas imigrasi di negara manapun, mereka semua nggak ada yang ramah. Tampang mereka dingin dan nggak bersahabat. Saya juga heran, kenapa petugas imigrasi nggak ada yang ramah? Baik di Indonesia maupun di luar negeri, semua petugas imigrasi sepertinya kompak memasang wajah jutek dan angkuh. Atau memang diharuskan seperti itu ya, oleh pihak imigrasi?

Saya memilih antri di counter yang petugas imigrasinya cewek. Soalnya antriannya paling pendek dibanding yang lain. Selain itu, petugasnya juga cukup cantik. Jadi lumayan menghibur deh, walau harus antri lama. Ternyata, walaupun antriannya paling pendek, kami harus antri lama juga. Kurang lebih 45 menit, waktu yang saya habiskan untuk antri di counter imigrasi. Nyebelin banget kan?

Conveyor Belt di Noi Bai International Airport

Selanjutnya kami menuju baggage claim untuk mengambil bagasi. Kami menemui banyak “keajaiban” di Noi Bai International Airport. “Keajaiban” pertama, baggage claim (dengan conveyor belt) di seluruh terminal kedatangan, baik kedatangan domestik maupun internasional, hanya ada dua. Catat ya! Hanya ada dua conveyor belt. Padahal Noi Bai adalah bandara internasional, gerbang masuk Negara Vietnam, yang pastinya banyak pesawat dari berbagai negara yang mendarat di sana. Ajaibnya, conveyor belt hanya ada dua. Jadinya, satu conveyor belt digunakan untuk beberapa maskapai secara bergantian. Alhasil, kami pun harus sabar menunggu lama untuk mengambil bagasi (tas) kami. Ketika kami sampai di baggage claim, ternyata bagasi yang datang adalah bagasi dari maskapai lain, yang datang lebih dulu. Padahal kami sudah menghabiskan waktu 45 menit di counter imigrasi. Ngapain aja petugas bandara selama itu, ya?

Walaupun BT, tetap sabar menunggu bagasi di Noi Bai International Airport

Saya dan Imel berbagi tugas. Imel menjaga tas kami yang ada di troli, sementara saya menunggu tas di dekat conveyor belt. Saya pun langsung menerobos kerumunan orang untuk mencari tempat yang dekat dengan conveyor belt. Saya tunggu sambil berdirdiri 5 menit, 10 menit, bahkan sampai 30 menit, tas kami belum nongol juga. Saya pun mundur mencari tempat duduk. Sialnya, nggak ada atu pun tempat duduk di area baggage claim tersebut. Saya pun cuek duduk di troli karena sudah cape berdiri. Beberapa turis bule juga sudah mulai putus asa dan mundur teratur untuk duduk lesehan di lantai. Untuk mengurangi ke-BT-an kami, saya dan Imel iseng foto-foto dan mengamati wajah-wajah lemas dan putus asa orang-orang yang menunggu bagasi.

Beberapa saat kemudian, muncullah tasnya si Imel. Larilah Imel menerobos keramaian orang, untuk mengejar tasnya. Anehnya, tas saya belum muncul juga. Padahal di Bangkok tadi, kami check in-nya jadi satu. Malahan saya yang check in-kan semuanya. Saya mulai panik, nih. Jangan-jangan tas saya ketinggalan di Bangkok atau terbawa pesawat lain dan dibawa terbang entah kemana. Saya langsung siaga kembali di dekat conveyor belt dan menunggu dengan gelisah. Akhirnya, tas kesayangan saya pun muncul setelah menunggu lebih dari satu jam. Ini merupakan rekor terlama saya menunggu bagasi di bandara. Sungguh ajaib dan menyebalkan.


Money Changer di Noi Bai International Airport

Tas sudah lengkap, kami segera mencari money changer untuk menukarkan uang. Secara kami belum punya Dong (Mata Uang Vietnam) sama sekali. Kami pun muter-muter, membandingkan nilai tukar (rate) di beberapa money changer/bank. Setelah menemukan bank yang nilai tukarnya paling tinggi, yaitu Asian Commercial Bank, dengan rate USD 1 = VND 18.479,00, kami langsung menukarkan Dolar kami. Saya dan Imel masing-masing menukarkan USD 100, dan kami mendapat VND 1.847.900,00. Kami berasa jadi kaya. Uang USD 100 berubah menjadi VND 1.847.900,00. Namun, ini hanya kesenangan sesaat. Secara harga barang di Vietnam juga tinggi karena nilai Dong sangat rendah. Bahkan nilainya lebih rendah daripada rupiah. Saat kedatangan kami di Vietnam, USD 1 = IDR 9.325,00 = VND 18.479,00.

Selanjutnya kami mencari Tourist Information Center, untuk mencari informasi tentang transportasi dari bandara ke Kota Hanoi dan mencari peta Hanoi. Kami menemui “keajaiban” lagi. Tidak seperti bandara internasional di negara-negara lain, yang biasanya menyediakn banyak peta gratis untuk para turis, di Noi Bai International Airport tidak tersedia satu pun Peta Vietnam ataupun Hanoi. Di seluruh penjuru bandara, Tourist Information Center hanya ada satu. Itu pun hanya menyediakan brosur-brosur wisata, tanpa ada peta Vietnam ataupun Hanoi. Saya pun meminta sebuah buku panduan wisata Vietnam kepada petugas Tourist Information Center tersebur. Soalnya Peta Hanoi saya ketinggalan dan peta hasil nge-print dari internet nggak bagus. Ajaibnya lagi, informasi mengenai transportasi menuju pusat kota Hanoi pun nggak tersedia. Padahal, bandara ini letaknya sangat jauh dari pusat kota Hanoi, sekitar 40 km. Loket resmi penjualan tiket bus ataupun taxi juga nggak ada. Jadi kami harus aktif mencari informasi sendiri dengan bertanya kepada orang-orang (sopir) di luar bandara. Sialnya, kebanyakan orang Vietnam nggak bisa berbahasa Inggris. Kalupun bisa, Bahasa Inggrisnya kacau balau.

Menurut informasi dari internet, sebenarnya terdapat 3 moda transportasi dari Noi Bai International Airport ke pusat kota Hanoi, yaitu public bus, minibus (van), dan taxi. Public bus ada dua, yaitu bus no. 7 menuju Kim Ma Bus Station dan bus no. 17 menuju Long Bien Bus Station. Biaya transportasi public bus VND 5.000,00 (USD 0,3) dengan lama perjalanan sekitar satu jam. Bus tersedia setiap 15 - 20 menit, dari jam 05.00 pagi sampai jam 10.00 malam. Sementara minibus, akan mengantar langsung ke hotel kita. Biayanya VND 22.000,00 untuk Warga Negara Vietnam dan VND 32.000,00 (USD 2) untuk turis. Yang paling mahal adalah taxi, tarifnya VND 160.000,00 (USD 10) untuk taxi jenis sedan dan VND 190,000 (USD 12) untuk taxi jenis SUV (semacam Innova di Indonesia).

Berhubung kami membawa ransel yang cukup berat dan nggak mau ambil risiko tersesat di Kota Hanoi, kami memilih naik minibus. Tarifnya juga nggak mahal-mahal amat. Konsekuensinya, kami harus menunggu sampai minibus full penumpang. Soalnya, sopir baru mau menjalankan minibus bila kendaraannya sudah penuhpenumpang. Arrrgh!!! Berarti harus menunggu dan menunggu lagi. Mana di luar bandara udara dingin banget lagi. Udah gitu, disertai dengan hujan rintik-rintik dan kabut tipis. Jadi, saya nggak bisa jalan-jalan ke mana-mana. Traveling di Vietnam memang butuh kesabaran tingkat tinggi. Untungnya, jalan-jalan kali ini saya nggak sendirian. Saya jalan-jalan berdua, bersama Imel. Saya nggak bisa membayangkan kalau harus jalan-jalan sendirian di Hanoi (Vietnam). Kayanya bakalan ribet dan membosankan. Soalnya, Vietnam memang negeri yang penuh dengan ”keajaiban.” Di bandaranya saja kami sudah disambut dengan berbagai “keajaiban.” (edyra)***
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments