KETIKA KABUT MENYAPA DI SAPA

Di Desa Cat Cat yang dingin dan berkabut

Kabut tipis dan udara dingin menusuk tulang menyambut kedatangan saya dan teman saya (Imel), di Sapa, Vietnam pagi itu. Di Bulan Januari, kota kecil di Vietnam Utara itu memang sedang memasuki musim dingin. Tidak mengherankan kalau udara sangat dingin menggigit, karena suhu udara di pagi hari hanya berkisar 8-12 derajat Celcius. Suhu yang sangat dingin bagi kami yang terbiasa tinggal di daerah tropis yang panas. Kami tiba di Sapa, setelah menempuh perjalanan panjang yang cukup melelahkan dari Hanoi, yaitu naik kereta api selama sekitar delapan jam dan dilanjutkan dengan naik van selama satu jam.

Kota Berselimut Kabut
Sapa merupakan sebuah kota kecil yang terletak di barat daya Vietnam, tepatnya di Provinsi Lao Cai. Jaraknya sekitar 350 km dari Hanoi atau sekitar 8 - 9 jam perjalanan naik kereta api. Kota ini berhawa sejuk dengan suhu udara rata-rata harian hanya berkisar 15 - 18 derajat Celcius dan hampir selalu diselimuti kabut, karena terletak di lereng Gunung Fansipan yang memiliki ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. (Puncak Gunung Fansipan 3.143 meter di atas permukaan laut). Pada musim dingin, sekitar Bulan Desember - Februari, suhu udara sangat dingin, hanya berkisar 8 - 12 derajat Celcius sehingga bisa dipastikan kabut pun selalu menyelimuti kota ini. Karena cuacanya yang sering berubah-ubah,Sapa dikenal sebagai kota dengan empat musim dalam sehari, yaitu musim semi di pagi hari, musim panas di siang hari, musim gugur di sore hari dan musim dingin di malam hari. Bagi kami yang berasal dari daerah tropis, suhu udara di Sapa terasa sangat dingin sehingga memaksa kami untuk selalu mengenakan jaket tebal, syal, kaos kaki, dan kaos tangan.

Waktu terbaik untuk mengunjungi Sapa adalah Bulan April - Mei, ketika Sapa memasuki musim semi di mana cuaca cukup hangat dan bunga-bunga mulai bermekaran. Di awal tahun (Januari - Maret), cuaca sangat dingin dan berkabut karena Sapa sedang memasuki musim dingin. Bulan Juni - September, Sapa memasuki musim panas, namun hujan sering turun sehingga tidak nyaman untuk jalan-jalan.

Tempat Kediaman Etnis Minoritas
Sapa merupakan kota kecil di lereng Gunung Fansipan, tempat kediaman berbagai etnis minoritas. Setidaknya, terdapat lima suku/etnis minorotas yang tinggal di kaki gunung (lembah) di sekitar Sapa, yaitu : Etnis Hmong (52 %), Dao (25 %), Tay (5 %), Giay (2 %), dan sebagian kecil Xa Pho. Kelima etnis minorotas tersebut tinggal menyebar di berbagai desa di sekitar Sapa, dengan gaya hidup yang masih tradisional. Keunikan etnis-etnis tersebut adalah busana dan aksesoris yang biasa mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari. Etnis-etnis tersebut (khususnya kaum wanita), selalu mengenakan busana dan aksesoris meriah dan berwarna-warni. Bagi kaum wanita dari Etnis Hmong dan Dao, pakaian selain sebagai penanda identitas juga menjadi simbol penting dalam relasi sosial. Keunikan busana dan aksesoris berbagai etnis minoritas di Sapa, mengundang para turis dan fotografer dari berbagai penjuru dunia untuk mengunjungi Sapa.

Trekking ke Desa Cat Cat
Selain menyaksikan keunikan kehidupan etnis minoritas, di Sapa Anda juga bisa menyaksikan panorama alam yang indah, berupa gunung, lembah, dan sawah terasering yang menghampar luas. Cara paling asyik untuk bisa menikmati keindahan Sapa adalah dengan trekking menyusuri desa-desa tempat kediaman berbagai etnis minoritas tersebut.

Selama dua hari berada di Sapa, aktivitas yang saya dan Imel lakukan adalah trekking. Karena sudah termasuk dalam paket tur, kami tidak perlu susah-susah lagi menentukan jalur trekking dan mencari pemandu trekking (tour guide). Di hari pertama, tujuan trekking kami adalah mengunjungi Desa Cat Cat dan Air Terjun Cat Cat. Jalur trekking ini panjangnya sekitar 6 km (pergi pulang) atau sekitar 3 jam perjalanan. Rombongan trekking kami terdiri dari delapan orang, yaitu : saya, Imel, dua orang turis Jerman, sepasang turis Swiss yang sudah paruh baya, dan sepasang kekasih dari Amerika Serikat. Selama trekking, kami ditemani pemandu tur, perempuan Sapa dari Etnis Black Hmong, yang sedang hamil anak pertamanya. (Maaf, saya lupa namanya karena rada susah).

Desa Cat Cat merupakan tempat kediaman Etnis Hmong Hitam (Black Hmong) yang masih tradisional. Cara berpakaian etnis ini sangat unik, yaitu pakaian yang berwarna-warni meriah. Etnis ini bertubuh kecil dan pendek. Cara hidup mereka masih sangat tradisional, yaitu dengan bertani dan membuat kerajinan tangan berupa baju, tas, scarf, topi, kalung/gelang manik-manik, dan lain-lain. Berbagai kerajinan tangan tersebut dijual kepada turis yang berkunjung Desa Cat Cat. Mereka juga beternak ayam, sapi atau babi. Rumah mereka terbuat dari anyaman bambu, beratap ilalang/rumbia dan berlantai tanah.

Air Terjun Cat Cat

Di Desa Cat Cat terdapat sebuah air terjun yang indah, yaitu Air Terjun Cat Cat. Untuk menuju air terjun ini Anda harus trekking menuruni anak tangga yang curam dan menyeberangi jembatan gantung kecil (Si Bridge). Air terjun ini merupakan ikonnya Desa Cat Cat, sekaligus titik akhir trekking ke Desa Cat Cat. Di dekat air terjun ini terdapat warung-warung sederhana yang menjual makanan dan minuman ringan. Biasanya para turis berhenti di air terjun ini untuk foto-foto dan istirahat sebelum kembali ke Sapa.

Untuk kembali ke Sapa, jalur yang harus Anda lewati adalah jalur mendaki yang cukup terjal dan berkelok-kelok. Kalau Anda masih kuat berjalan, Anda bisa berjalan kaki kembali ke hotel. Namun, bila Anda sudah kecapekan, Anda bisa naik ojek yang banyak terdapat di dekat Air Terjun Cat Cat. Sebenarnya kami ingin berjalan kakii kembali ke hotel di pusat Kota Sapa. Berhubung kami sudah kecapekan karena tadi pagi baru sampai di Sapa dan langsung trekking naik turun gunung, kami memilih untuk naik ojek. Tarif ojek dari Cat Cat ke Sapa sekitar VND 20.000,00 (sekitar Rp 10.000,00), tergantung kepiawaian Anda menawar. Anda harus menawar terlebih dahulu sebelum menaiki ojek, karena mereka biasanya akan meminta ongkos yang mahal kepada Anda bila tidak menawarnya terlebih dahulu.

Trekking ke Desa Lao Chai dan Desa Ta Van
Hari kedua di Sapa, aktivitas kami juga trekking. Kali ini tujuan trekking kami adalah mengunjungi Desa Lao Chai dan Ta Van. Jalur trekking ini cukup jauh, sekitar 9 km (Sapa - Lao Chai : 6 km, Lao Chai - Ta Van : 3 km) sehingga kami harus menyiapakan energi dan stamina yang prima. Makanya sebelum trekking, kami mengisi perut sampai kenyang di hotel.

Sawah terasering yang indah di Desa Lao Chai

Kami mulai trekking sekitar jam 09.00 waktu setempat. Trekking kali ini, kami juga ditemani pemandu kami yang kemarin, dan beberapa perempuan Sapa dari Etnis Black Hmong. Di awal perjalanan, rute yang kami lewati masih nyaman, yaitu jalan beraspal yang menurun. Namun, setelah berjalan sekitar 2 km, trekking yang sebenarnya baru dimulai. Kami harus berjalan menyusuri jalan tanah yang naik turun dengan kondisi jalan becek dan licin. Untungnya pemandangan di sepanjang jalan kami lewati sangat indah. Sawah terasering (yang saat itu sedang tidak ada padinya) terhampar di kiri kanan jalan. Pemandangan semakin memukau ketika mendekati Desa Lao Chai (Ingat Lao Chai berbeda dengan Lao Cai!) Sawah terasering dengan dibelah sungai yang meliuk-liuk seperti ular terhampar luas di depan mata kami. Kabut tipis yang menyelimuti sawah tersebut semakin menambah eksotis panorama. Tentu saja saya tidak menyia-nyiakan panorama alam yang menakjubkan tersebut. Segera saya keluarkan kamera, untuk mengabadikan lukisan alam yang sangat indah tersebut. Saya dan Imel juga menyempatkan diri berfoto bersama beberapa perempuan Black Hmong yang mengenakan busana dan aksesoris warna-warni.

Berfoto bersama Etnis Black Hmong di Desa Lao Chai

Tengah hari kami tiba di Desa Lao Chai. Desa ini merupakan tempat kediaman Etnis Black Hmong dan Etnis Giay. Kami berhenti untuk makan siang di sebuah restoran di pinggir sungai. Namun, sebelum kami masuk ke restoran, kami dihadang sekelompok perempuan Black Hmong yang menjajakan souvenir dengan sedikit memaksa. Perempuan Black Hmong yang dari tadi menemani perjalanan kami juga memaksa kami untuk membeli souvenir darinya. Dengan tegas saya menolak mereka, karena saya tahu harga barang yang mereka jual kepada kami pasti sangat mahal. Menurut informasi dari internet dan travel agency di Hanoi, tempat murah untuk membeli souvenir khas Sapa adalah di Pasar Sapa. Namun, saat itu Imel jadi korban pemaksaan para perempuan Black Hmong tersebut. Karena dikerubutin begitu banyak perempuan Black Hmong yang menjual barang dengan memaksa, akhirnya Imel membeli beberapa souvenir dari mereka.

Lepas dari gerombolan perempuan Black Hmong, kami segera masuk ke restoran di pinggir sungai untuk makan siang. Menu makan kami adalah sandwich baguette (roti khas Perancis) dengan isi sosis, keju, dan selada. Dessert-nya berupa yoghurt, apel, dan pisang. Lumayan nikmat dimakan di tengah cuaca yang dingin. Makan siang ini sudah termasuk dalam paket trekking di Sapa. Jadi, kami tidak perlu mengeluarkan uang lagi. Kami hanya perlu mengeluarkan uang untuk membeli minuman. Inilah uniknya Vietnam, semua paket makan di Vietnam, tidak termasuk minuman. Meski Anda ikut tur yang sudah termasuk makan tiga kali sehari, minuman (walau hanya air putih) tidak termasuk dalam paket tur. Jadi Anda harus memesan dan membayar minuman tersendiri.

Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Ta Van. Desa ini berada di sebuah lembah dan dikelilingi gunung. Di Desa Ta Van juga bermukim Etnis Black Hmong dan Etnis Giay. Kami melewati persawahan dan perkampungan Etnis Black Hmong dan Etnis Giay. Kami juga sempat berhenti di halaman sebuah sekolah dasar, untuk menyaksikan pertunjukan tari yang dilakukan oleh anak-anak dari Etnis Black Hmong.

Anak-anak Etnis Black Hmong sedang menari

Desa Ta Van merupakan titik akhir trekking kami hari ini. Dari desa ini kami dijemput mobil van yang akan membawa kami kembali ke hotel. Saya tidak bisa membayangkan kalau harus jalan kaki kembali ke hotel. Pasalnya, kami harus berjalan sejauh 9 km dengan kondisi jalan yang menanjak dan berkelok-kelok. Untungnya kami ikut paket tur yang ada fasilitas mobil penjemput. Jadi kami tidak perlu menguras tenaga untuk kembali ke hotel.

Setelah berburu souvenir di Sapa Market

Berburu Souvenir di Sapa Market
Selesai istirahat dan makan siang di hotel, kami beranjak menuju Pasar Sapa (Sapa Market) untuk membeli souvenir khas Sapa. Pasar ini jaraknya hanya beberapa ratus meter dari hotel kami. Pasar Sapa merupakan tempat untuk membeli oleh-oleh/souvenir khas Sapa. Di pasar ini, Anda bisa bertemu dengan perempuan Sapa dari berbagai etnis dengan busana khasnya yang berwarna-warni. Anda bisa membeli berbagai macam souvenir khas Sapa, seperti : baju, rok, topi, scarf, syal, tas, kalung, dan gelang manik-manik. Semuanya dengan warna-warni meriah. Barang-barang tersebut harganya cukup murah dan cocok untuk oleh-oleh. Namun, Anda harus menawar agar bisa mendapatkan harga yang murah. Anda tidak perlu khawatir masalah bahasa. Sebagian besar pedagang di Pasar Sapa bisa berbahasa Inggris, walau hanya sekedar mengucapkan harga barang. Saya dan Imel membeli beberapa scarf dari wol dengan harga yang sangat murah, hanya VND 25.000 (sekitar Rp 15.000) per lembar.

Getting There
Dari Hanoi Anda bisa naik kereta api menuju Lao Cai (Stasiun Kereta Api terdekat dengan Kota Sapa). Perjalanan Hanoi - Lao Cai memakan waktu 8 - 9 jam. Kereta berangkat dari Hanoi pukul 21.00 dan sampai di Lao Cai sekitar pukul 05.00 pagi. Dari Lao Cai lanjutkan perjalanan Anda menuju Sapa dengan naik kendaraan umum, minibus/van. Sapa jaraknya sekitar 38 km dari Lao Cai atau sekitar satu jam berkendara.

Sebaiknya Anda ikut paket tur ke Sapa dari Hanoi agar lebih praktis. Harganya juga tidak jauh beda dibandingkan dengan Anda melakukan perjalanan sendiri tanpa ikut tur. Paket tur biasanya termasuk tiket kereta Hanoi - Sapa pulang pergi, antar jemput dari dan ke stasiun, akomodasi di hotel, makan tiga kali sehari, dan pemandu tur (tour guide) untuk trekking di Sapa. (edyra)***

*Dimuat di Majalah CHIC
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments