PULAU TABUHAN, MUTIARA MUNGIL DI TENGAH SELAT BALI

Bertemu bintang laut di Pulau Tabuhan

Mungkin Anda belum pernah mendengar Pulau Tabuhan. Maklum, pulau yang berada di tengah Selat Bali ini memang sangat kecil, dengan luas pulau hanya sekitar 5.335 hektar. Saking kecilnya, bila dilihat dari pesawat, Pulau Tabuhan nampak seperti titik kecil di tengah laut. Jangankan turis asing, Warga Negara Indonesia saja belum banyak yang mengetahui keberadaan pulau yang sangat imut ini. Paling-paling hanya masyarakat Banyuwangi serta pecinta olahraga diving dan snorkeling yang mengetahui keberadaan Pulau Tabuhan. Namun, jangan pandang sebelah mata Pulau Tabuhan. Meski mungil, Pulau Tabuhan menyimpan beragam pesona yang mampu menjerat siapa saja yang pernah mengunjunginya. Saya dan teman telah membuktikannya.

Pulau Tabuhan dilihat dari pesawat

Pulau Tabuhan terletak persis di tengah Selat Bali yang memisahkan Pulau Jawa dan Bali. Secara administratif, Pulau Tabuhan masuk ke dalam wilayah Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi. Satu-satunya sarana transportasi untuk menuju Pulau Tabuhan adalah perahu nelayan yang bisa Anda sewa dari Pantai Kampe, Desa Bangsring. Perjalanan dari Pantai Kampe menuju Pulau Tabuhan dapat ditempuh dalam waktu yang cukup singkat, hanya sekitar tiga puluh menit. Namun, perjalanan tersebut sangat menantang karena harus menyeberangi Selat Bali yang terhubung langsung dengan Samudera Indonesia. Di salah satu titik Selat Bali, terdapat arus laut yang sangat kencang dan pada musim-musim tertentu gelomabngnya cukup tinggi. Kalau nahkoda perahu tidak jago mengemudikan perahu, bisa-bisa perahu terbalik di tengah laut.

Pantai Kampe, tempat untuk memulai petualangan ke Pulau Tabuhan

Menginjakkan kaki di Pulau Tabuhan untuk pertama kalinya adalah pengalaman luar biasa yang sulit dilupakan. Anda akan disambut hamparan pasir putih dan beningnya air laut yang berwarna hijau toska. Pulau Jawa di sebelah barat dan Pulau Bali di sebelah tenggara. Jika cuaca sedang cerah, Anda juga akan melihat Gunung Baluran yang berdiri gagah di kejauhan. Saya berkali-kali berdecak kagum melihat keindahan panorama Pulau Tabuhan.

Pulau Tabuhan yang indah dengan pasir putih dan laut hijau kebiruan

Hal pertama yang saya lakukan ketika tiba di Pulau Tabuhan adalah berjalan kaki mengelilingi pulau. Tak butuh waktu lama. Saking imutnya pulau ini, hanya dalam waktu lima belas menit saya sudah mengelilingi seluruh sudut pulau. Aktivitas seru berikutnya adalah snorkeling. Keindahan panorama bawah laut Pulau Tabuhan sangat memukau dan sayang untuk dilewatkan. Dengan berbekal masker dan snorkel, saya pun leluasa menikmati alam bawah laut Pulau Tabuhan. Tak perlu berenang jauh ke tengah laut, dalam jarak beberapa meter dari bibir pantai, saya sudah bisa melihat aneka terumbu karang dan ikan-ikan cantik aneka warna. Bintang laut berwarna biru pun banyak bertebaran di sekitar saya. Mata saya jadi segar melihat berbagai macam biota laut cantik tersebut.

Para pemancing di Pulau Tabuhan

Puas berenang dan snorkeling, saya duduk-duduk santai di tepi pantai sambil mengamati burung-burung yang beterbangan di sekitar Pulau Tabuhan. Banyaknya pohon di Pulau Tabuhan, membuat pulau ini menjadi tempat persinggahan favorit berbagai burung migran pada musim-musim tertentu. Menurut para nelayan yang saya temui di Pulau tabuhan, salah satu burung langka yang menjadi pelanggan tetap pulau ini adalah Burung Maleo (Macrocephalon maleo) yang berasal dari Pulau Sulawesi. Burung ini memiliki ciri-ciri : warna hitam, tinggi badan sekitar 55 cm, kulit sekitar mata berwarna kuning, dan kaki berwarna abu-abu. Burung Maleo biasa bersarang di daerah pasir yang terbuka dan hangat. Tujuannya, untuk menetaskan telur, yang akan menjadi cikal-bakal bayi burung. Makanan Burung Maleo antara lain : biji-bijian, semut, dan berbagai jenis hewan kecil. Inilah alasan mengapa Pulau Tabuhan menjadi tempat singgah favorit Burung Maleo. Sayangnya, saya tidak melihat burung ini ketika berkunjung ke Pulau Tabuhan.

Pepohonan di Pulau Tabuhan

Selain Burung Maleo, Pulau Tabuhan juga menjadi arena singgah bagi Burung Enggang Gading (Buceros vigil). Burung yang masuk daftar satwa dilindungi ini memiliki ciri bagian perut, kaki, dan ekor, berwarna putih. Burung lain yang kadang-kadang mampir di Pulau Tabuhan adalah Burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi). Burung yang menjadi maskot Pulau Bali ini habitanya adalah di Taman Nasional Bali Barat dan di Pulau Menjangan, tak jauh dari Pulau Tabuhan.

Tak terasa matahari mulai condong ke barat dan perahu penjemput pun sudah datang. Berarti saya harus meninggalkan Pulau Tabuhan. Rasanya berat sekali meninggalkan pulau ini. Panorama yang indah dan suasana pulau yang tenang dan damai, membuat saya jatuh cinta pada Pulau Tabuhan.

Getting There
Untuk mencapai Pulau Tabuhan, Anda harus pergi ke Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Dari Pelabuhan Ketapang, lanjutkan perjalanan ke utara (arah Situbondo/Surabaya) hingga tiba di sebuah pertigaan di Desa Bangsring, dengan billboard bertuliskan PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero) Kebun Pasewaran di sebelah kanan jalan. Beloklah ke kanan dan ikuti jalan tersebut hingga tiba di Pantai Kampe. Dari Pantai Kampe, Anda bisa menyewa perahu nelayan untuk mencapai Pulau Tabuhan. Perjalanan naik perahu memakn waktu sekitar dua puluh menit. (edyra) ***
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

MENYUSURI KOTA TUA AYUTTHAYA DENGAN SEPEDA

Betapa besarnya Patung Budha di belakang saya

Kalau saja waktu itu saya tidak kehabisan tiket kereta api jurusan Bangkok - Butterworth (Malaysia) untuk keesokan harinya, mungkin saya tidak akan pernah menginjakkan kaki di Ayutthaya, Thailand. Berhubung kereta dari Bangkok ke Butterworth hanya tersedia sekali dalam sehari dan saya tidak ingin naik bus, mau nggak mau saya beli juga tiket kereta jurusan Butterworth untuk lusa. Akibatnya, saya harus menunggu sehari lagi di Bangkok. Namun, saya tidak menyesali tragedi kehabisan tiket kereta tersebut. Justru saya merasa sangat beruntung karena akhirnya saya berkesempatan menjelajahi Ayutthaya.

Awalnya saya bingung mau ngapain lagi di Bangkok, karena hampir semua tempat menarik di Bangkok sudah saya kunjungi. Iseng-iseng saya membuka Buku Panduan Wisata Thailand untuk mencari objek wisata menarik, yang letaknya tidak jauh dari Bangkok. Setelah membolak-balik buku tersebut, akhirnya saya mendapat ide untuk mengunjungi Ayutthaya, kota tua yang kaya akan candi (dalam Bahasa Thailand disebut wat) dan bangunan-bangunan tua nan cantik, yang termasuk dalam Daftar World Heritage Sites UNESCO. Kota yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Thailand selama 417 tahun ini, letaknya hanya sekitar 76 km dari Bangkok dan dapat dicapai dengan bus, kereta api atau kapal (river cruise via Sungai Chao Phraya). Dari ketiga alat transportasi tersebut, pilihan tercepat dan termurah ke Ayutthaya adalah kereta api. Karena waktu saya terbatas dan sekaligus ingin menghemat biaya, saya memutuskan untuk pergi ke Ayutthaya dengan naik kereta api. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari internet dan Buku Panduan Wisata Thailand, setiap hari ada beberapa kali keberangkatan kereta ke Ayutthaya. Semua kereta yang menuju ke kota-kota di Thailand bagian utara seperti Chiang Mai, Nong Khai, dan Ubon Ratchathani, pasti akan melewati Ayutthaya sehingga kita bisa memilih jam keberangkatan sesuai keinginan kita.

Keesokan harinya, tepat pukul 06.00 pagi saya bergerak menuju Stasiun Kereta Api Hua Lampong, Bangkok. Saya berjalan kaki menuju stasiun, karena dari hotel tempat saya menginap jaraknya hanya sekitar lima belas menit jalan kaki. Saya sengaja berangkat pagi-pagi sekali untuk mengejar kereta terpagi yang akan berangkat dari Stasiun Hua Lampong pada pukul 06.40. Dengan memilih kereta terpagi, saya berharap akan punya lebih banyak waktu untuk menjelajahi Ayutthaya.

Begitu tiba di Stasiun Hua Lampong, saya langsung menuju ke loket dan membeli tiket kereta jurusan Ayutthaya. Karena Ayutthaya jaraknya cukup dekat dari Bangkok (sekitar 76 km), kereta ke Ayutthaya hanya tersedia kelas tiga (ekonomi) dengan harga tiket yang sangat murah, yaitu THB 15 (sekitar Rp 4.275,00). Menurut jadwal, perjalanan Bangkok - Ayutthaya akan ditempuh dalam waktu sekitar 105 menit (tidak sampai dua jam). Saya sampai terheran-heran melihat harga tiket kereta semurah itu. Saya sempat berpikir, jangan-jangan keretanya kotor, banyak sampah, dan penuh dengan pedagang asongan seperti kereta-kereta ekonomi di Indonesia. Ternyata bayangan saya salah total. Kereta ekonomi di Thaialand, sangat bersih dan nyaman. Tidak ada sampah yang berceceran ataupun pedagang asongan di dalam kereta. Setiap penumpang duduk di kursi sesuai dengan nomor yang tercantum di tiket. Saya pun sangat menikmati perjalanan berkereta dari Bangkok ke Ayutthaya.

Sesuai jadwal, tepat pukul 08.25 Waktu Ayutthaya (sama dengan WIB), kereta berhenti di Stasiun Ayutthaya. Saya segera keluar stasiun dan menyeberang jalan, menuju ke salah satu toko kelontong yang juga menyediakan sepeda dan sepeda motor untuk disewa para turis yang ingin menglilingi Ayutthaya. Harga sewa sepeda 40 Baht (sekitar Rp 11.400,00) dan harga sewa sepeda motor 130 Baht (sekitar Rp 37.000,00). Sepeda ataupun sepeda motor tersebut harus dikembalikan sebelum jam 18.00. Saya memilih untuk menyewa sepeda karena selain harganya lebih murah, saya juga tidak memiliki SIM internasional.

Berbekal selembar Peta Ayutthaya yang tidak begitu detil, saya segera mengayuh sepeda ke arah kiri, melintasi Jembatan Naresuan, menuju pusat kota Ayutthaya di mana terdapat Pusat Informasi Turis Ayutthaya (Ayutthaya Tourist Center). Saya ingin mencari informasi tentang objek wisata yang menarik di Ayutthaya dan mendapat Peta Ayutthaya yang lebih detil dan lengkap. Maklum, saya hanya memiliki Buku Panduan Wisata Thailand yang kecil dan hanya membahas objek-objek wisata di Thailand secara singkat (tidak lengkap).

Saat menyusuri Rotchana Road (jalan raya utama di Ayutthaya), saya melihat sebuah bangunan candi (wat) yang sudah tidak utuh lagi di sebelah kiri jalan. Di sana sangat sepi, tidak ada seorang pun pengunjung. Rupanya ini wat pertama yang menyambut kedatangan saya di Ayutthaya. Saya tertarik untuk mampir sejenak dan memotret wat yang terbuat dari bata merah tersebut. Wat yang sudah tidak utuh tersebut bernama Wat Khun Muang Chai. Seluruh bangunan wat tersebut, terbuat dari bata merah dengan lapisan luar yang sudah terkelupas, sehingga nampak semua bata merahnya. Di tengah wat terdapat sebuah stupa yang cukup besar. Secara keseluruhan, Wat Khun Muang Chai masih terlihat indah meski sudah tidak utuh lagi.

Wat Khun Muang Chai

Saya tidak berlama-lama di Wat Khun Muang Chai. Saya segera melanjutkan perjalanan ke Ayutthaya Tourist Center. Begitu sampai di Ayutthaya Tourist Center, saya langsung mengambil Peta Ayutthaya yang tersedia gratis untuk turis dan mendekati seorang petugas untuk meminta informasi tentang berbagai candi dan kuil menarik di Ayutthaya yang harus saya kunjungi. Ternyata ada banyak sekali wat di Ayutthaya. Rasanya tidak mungkin bisa mengunjungi semuanya dalam sehari. Apalagi saya hanya memiliki waktu sekitar delapan jam saja.

Mengingat terbatasnya waktu yang saya miliki, saya memutuskan untuk mengunjungi wat-wat yang paling populer (must visited) saja, yang berada di Kompleks City Island. Sebenarnya ada beberapa wat menarik di luar City Island, tapi saya tidak bisa mengunjunginya karena sempitnya waktu. Inilah wat-wat cantik dan menarik yang sempat saya kunjungi dalam waktu sehari (kurang lebih delapan jam) di Ayutthaya.

Wat Worapho
Wat pertama yang saya kunjungi adalah Wat Worapho. Wat ini berada di City Island, tepatnya di sudut jalan U-Thong Road dan Khlong To Road, di sebelah barat Istana Raja Ayutthaya (Royal Palace). Para pengunjung hanya bisa masuk ke Wat Worapho melalui U-Thong Road. Sampai sekarang belum diketahui secara pasti kapan wat ini dibangun, tapi para ahli antropologi memperkirakan Wat Worapho dibangun sekitar abad ke-16. Walaupun kecil, Wat Worapho sangat cantik. Wat ini dibuat dari bata merah dan dibangun menghadap ke utara. Bangunan utama Wat Worapho berupa stupa yang bentuknya mirip stupa candi-candi di Kamboja (Prang). Sebenarnya nama asli wat ini adalah Wat Rakhang. Namun, pada saat Raja Borommakot berkuasa (1733 – 1758) namanya diganti menjadi Wat Worapho. Pada waktu itu, Raja Borommakot mengirimkan beberapa biksu ke Sri Lanka untuk membantu penyebaran agama Budha di sana. Sebagai rasa terima kasih kepada Raja Borommakot, Pemerintah Sri Lanka memberi hadiah berupa sebuah Pohon Phra Si Maha Pho (Bodi Tree) untuk ditanam di Ayutthaya. Sejak saat itu, Raja Borommakot mengganti nama Wat Rakhang menjadi Wat Worapho.

Wat Worapho

Saat meninggalkan Wat Worapho menuju Wat Lokayasutharam yang masih berada dalam satu kompleks, saya melewati reruntuhan wat yang bernama Wat Worachetharam. Semua bangunan di wat ini sudah rata dengan tanah dan hanya menyisakan sebuah stupa yang sudah tidak utuh lagi serta sebuah Patung Budha yang duduk bersila di depannya. Saya sempatkan untuk memotret sisa-sisa reruntuhan Wat Worachetharam, sebelum bergerak menuju Wat Lokayasutharam.

Patung Budha Tidur di Wat Lokayasutharam

Wat Lokayasutharam
Wat Lokayasutharam letaknya di dekat Wat Worachetharam. Semua bangunan di Wat Lokayasutharam juga sudah hancur. Yang tersisa hanyalah sebuah sebuah Patung Budha Tidur (Reclining Buddha) yang bernama Phra Buddha Sai Yat. Patung Budha Tidur tersebut berukuran sangat besar dengan panjang 37 meter dan tinggi 8 meter. Tubuh Patung Budha yang berbaring menghadap ke barat (dengan kepala berbantal lotus di sebelah utara) ini, diselimuti kain berwarna oranye cerah. Uniknya, tidak seperti Patung Budha Tidur lainnya yang tangannya sedekap di dada, Patung Budha ini tangan kanannya menopang kepala. Keunikan lainnya, jari kaki patung ini berukuran sama besar dan panjangnya. Dengan berbagai keunikan tersebut, tak heran kalau Reclining Buddha di Wat Lokayasutharam menjadi salah satu objek foto favorit para turis di Ayutthaya.


Viharn Phra Mongkon Bophit

Viharn Phra Mongkon Bophit
Viharn Phra Mongkon Bophit (Buddha of The Holy and Supremely Auspicious Reverence), dibangun pada tahun 1538, pada masa pemerintahan Raja Chairacha. Wihara ini dibangun di dalam kompleks Wat Chi Chiang. Di dalam Wihara Phra Mongkon Bophit terdapat Patung Budha Raksasa setinggi 12,5 meter dan lebar 9,5 meter. Patung Budha dengan posisi duduk bersila ini terbuat dari perunggu yang dilapisi emas.

Patung Budha di dalam Vihara Phra Mongkon Bophit

Wihara Phra Mongkon Bophit pernah mengalami kebakaran hebat pada tahun 1767 yang menyebabkan kerusakan atap wihara dan patahnya kepala serta lengan kanan Patung Budha. Setelah kebakaran tersebut, Raja Ayutthaya memerintahkan perbaikan beberapa kali atas Wihara Phra Mongkon Bophit. Restorasi Patung Budha baru dilakukan pada tahun 1920, pada masa pemerintahan Raja Rama VI. Perbaikan wihara baru benar-benar selesai pada tahun 1957, tetapi bentuk wihara tidak bisa menyamai keindahan bentuk wihara pada saat pertama kali dibangun.
Wat Phra Si Sanphet

Wat Phra Si Sanphet
Wat Phra Si Sanphet merupakan wat terpenting dan termegah di Ayutthaya. Wat ini terletak di Kompleks Royal Palace dan hanya digunakan untuk upacara keagamaaan kerajaan. Wat Phra Si Sanphet dibangun pada tahun 1350, saat Raja Ramathibodi I berkuasa. Wat Phra Si Sanphet terkenal sebagai wat dengan stupa (chedi) gaya Thailand (Thai style stupa), dengan ciri puncak chedi yang lancip/runcing. Di wat ini terdapat tiga buah chedi besar dan beberapa chedi kecil di sekelilingnya. Chedi-chedi tersebut adalah tempat bersemayamnya abu para raja setelah dikremasi. Dulu, di Wat Phra Si Sanphet terdapat Patung Budha berlapis emas setinggi 16 meter tetapi sekarang sudah tidak ada lagi karena semuanya musnah terbakar. Untuk memasuki kompleks wat ini, pengunjung harus membayar tiket masuk sebesar 30 Baht. Untungnya, saya bisa masuk ke Wat Phra Si Sanphet dengan gratis karena saya masuk ke wat ini bersama rombongan Turis Jepang. Oleh petugas penjaga loket, saya dikira anggota rombongan Turis Jepang tersebut sehingga saya dibiarkan masuk tanpa membeli tiket.

Wat Phra Ram

Wat Phra Ram

Wat Phra Ram dibangun di tempat bekas kremasi Raja Ramathibodi I, di Historical Park of Ayutthaya. Sampai saat ini, para ahli belum bisa menentukan kapan pastinya Wat Phra Ram dibangun tetapi mereka memperkirakan wat ini dibangun pada tahun 1369, pada saat Raja Naresuan berkuasa. Raja Naresuan adalah anak dari Raja Ramathibodi I. Raja Naresuan memerintahkan pembangunan Wat Phra Ram setelah ayahnya meninggal dunia pada tahun 1369. Arsitektur Wat Phra Ram mirip dengan arsitektur wat-wat di Kamboja, dengan ciri satu stupa utama berukuran paling besar berada di tengah dan dikelilingi empat stupa berukuran lebih kecil. Di depan wat ini terdapat sebuah danau kecil yang bernama Bung Phra Ram. Untuk masuk ke Wat Phra Ram, pengunjung tidak perlu membayar tiket masuk alias gratis.
Wat Mahathat
Wat Mahathat
Wat Mahathat (The Monastery of Great Relic) merupakan salah satu wat yang paling terkenal di Ayutthaya dan sekaligus objek foto favorit para turis karena di wat ini terdapat Patung Kepala Budha yang dililit akar pohon. Wat ini terletak di sudut Chikun Road dan Naresuan Road. Wat Mahathat mulai dibangun pada tahun 1374, pada masa pemerintahan Raja Borommarachathirat, dan selesai dibangun pada masa pemerintahan Raja Ramesuan (1388 - 1395). Seperti wat-wat lainnya di Ayutthaya, Wat Mahathat juga terbuat dari bata merah. Wat Mahathat masih tetap mempesona, meski saat ini bangunan di wat tersebut sudah banyak yang hancur. Para turis yang datang ke Ayutthaya pasti menyempatkan diri untuk berkunjung ke Wat Mahathat untuk melihat dan memotret Patung Kepala Budha yang dililit akar pohon. Namun, perlu Anda ingat! Saat akan mengabadikan diri bersama Patung Kepala Budha, pastikan Anda berlutut atau duduk lebih rendah dari Patung Kepala Budha tersebut. Hal ini menunjukkan sikap hormat karena bagi rakyat Thailand Patung Kepala Budha tersebut dianggap suci.


Wat Ratchaburana

Wat Ratchaburana
Inilah wat terakhir yang saya kunjungi di Ayutthaya. Ketika saya tiba di Wat Ratchaburana (The Monastery of Royal Repairs/Restoration), waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 (pukul 17.00 wat ini tutup) dan mendung hitam bergelayut di langit. Jadi, saya tidak bisa berlama-lama di wat ini. Wat Ratchaburana terletak di sudut Chikun Road dan Naresuan Road, tepat di seberang Wat Mahathat. Wat ini dibangun pada tahun 1424, pada masa pemerintahan Raja Borommarachathirat II (Chao Sam Phraya). Ada kisah menarik di balik pembangunan Wat Ratchaburana. Raja Intharachathirat mempunyai tiga orang anak lelaki yang bernama Chao Ai Phraya (si sulung), Chao Yi Phraya (si bungsu), dan Chao Sam Phraya (si tengah). Pada tahun 1424 Raja Intharachathirat sakit dan meninggal dunia. Setelah meninggalnya sang raja, Chao Ai Phraya dan Chao Yi Phraya berebut tahta kerajaan. Mereka berperang di atas punggung gajah sampai tewas. Setelah kedua kakaknya meninggal dunia, si bungsu, Chao Sam Phraya naik tahta menjadi Raja Ayutthaya dengan gelar Raja Borommarachathirat II. Setelah naik tahta, Raja Borommarachathirat II memerintahkan pembangunan sebuah wat di tempat pertempuran kedua kakaknya. Wat itulah yang kemudian diberi nama Wat Ratchaburana.


Wat Ratchaburana

Ketika saya meninggalkan Wat Ratchaburana, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Saya segera mengayuh sepeda untuk mencari tempat berteduh. Sebenarnya masih banyak wat menarik di Ayutthaya yang ingin saya kunjungi tetapi waktu saya di Ayutthaya sudah habis. Saya harus mengembalikan sepeda sebelum pukul 18.00 dan saya akan kembali ke Bangkok bersama kereta yang akan berangkat pukul 18.30. Ayutthaya memang mempesona. Bila ada kesempatan, saya ingin kembali ke Ayutthaya untuk menjelajahi wat-wat cantik yang belum sempat saya kunjungi. (edyra)***

Dimuat di Majalah SEKAR
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments