LINTAS BATAS NEGARA

Setelah jalan-jalan ke beberapa negara di tiga benua (Asia, Eropa dan Afrika), ada satu hal yang paling saya suka tetapi sekaligus bikin deg-degan, yaitu melintasi perbatasan (border) suatu negara baik lewat darat atau laut. Tentunya yang paling mendebarkan adalah melintasi perbatasan darat. Dua negara yang berbatasan darat biasanya dipisahkan oleh jalan, sungai/jembatan, jurang, gunung atau hutan. Biasanya akan terlihat dua hal yang kontras (bertolak belakang) di daerah perbatasan tersebut karena perbedaan kebijakan politik dan ekonomi dua negara yang berdekatan. Misalnya di satu sisi, kondisi jalan dan bangunan milik negara A begitu bagus dan megah, di sisi lain jalan dan bangunan milik negara B sangat sederhana atau bahkan mengenaskan. Banyak hal yang bisa terjadi di perbatasan darat antar negara, baik hal-hal menyenangkan ataupun hal-hal menjengkelkan. Sayangnya, penjagaan di tapal batas biasanya sangat ketat, sehingga cukup sulit untuk memotret suasana di perbatasan tersebut. Jadinya, saya tidak bisa memotret semua perbatasan negara yang saya lewati. Dari perjalana keluar negeri selama ini, saya telah melintasi delapan perbatasan antar negara (territory). Semuanya memberikan pengalaman yang unik dan sedikit menyebalkan. Berikut ceritanya.

1. Indonesia - Singapura (Lewat Laut)
Inilah perjalanan melintas batas negara sekaligus perjalanan keluar negeri yang pertama bagi saya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Juli 2008, ketika saya menyeberang dari Batam ke Singapura dengan Ferry Penguin. Terus-terang, saya deg-degan dan rada-rada takut karena ini pengalaman keluar negeri yang pertama. Saya takut bakalan ditanya panjang lebar oleh petugas imigrasi Singapura atau parahnya ditolak masuk Singapura karena paspor saya masih kosong melompong alias baru. Dari cerita teman-teman, biasanya kita akan ditanya macam-macam oleh petugas imigrasi bila paspor kita masih kosong atau belum pernah melakukan perjalanan keluar negeri. Ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Begitu ferry yang membawa saya dari Pelabuhan Batam Center merapat di Harbour Front, Singapura, saya segera turun dari ferry dan berjalan mengikuti orang-orang di depan saya untuk menuju counter di imigrasi. Sialnya, saat itu antriannya sangat panjang dan meliuk-liuk seperti ular. Saya dag dig dug nggak karuan menunggu giliran saya berhadapan dengan petugas imigrasi Singapura. Sesaat sebelum tiba giliran saya menghadap ke petugas imigrasi, saya menarik napas panjang dan berdoa semoga dilayani oleh petugas yang baik dan ramah. Ternyata, harapan saya menjadi kenyataan. Saya dilayani oleh petugas imigrasi perempuan keturunan India yang cukup baik (karena nggak menanyai saya macam-macam) meski tampangnya rada-rada seram. Sambil membolak-balik halaman paspor saya yang masih kosong, dia hanya bertanya, “First time to Singapore?” dan nggak tanya-tanya lagi. Nggak sampai lima menit, paspor saya pun sudah mendapat stempel social visit 30 days sebagai izin resmi memasuki Negeri Singa. Saya pun melenggang keluar dari counter imigrasi dengan gembira.

Belakangan saya ketahui bahwa memang jarang (lebih tepatnya tidak ada) petugas imigrasi yang ramah dan murah senyum. Rata-rata berwajah dingin, jutek dan rada-rada seram (tidak ada yang tersenyum). Bahkan petugas imigrasi di Indonesia tipenya juga nggak jauh beda, baik perempuan atau laki-laki. Nggak tahu apakah mereka semua diharuskan bersikap seperti itu (agar kelihatan berwibawa), atau memang sifat dari sononya?

Singapore - Johor Causeway (Sumber : Wikipedia)

2. Singapura - Malaysia
Daratan Singapura dan Malaysia dipisahkan oleh Selat Johor tetapi sudah dihubungkan dengan jembatan bernama Singapore - Johor Causeway. Dulu, saya membayangkan bahwa jembatan yang menghubungkan Singapura dan Malaysia megah dan indah. Ternyarta biasa banget, tak ada bedanya dengan jembatan jalan raya biasa, jauh di luar bayangan saya. Saya melewati perbatasan ini ketika melakukan perjalanan dari Singapura ke Kuala Lumpur, Malaysia dengan naik Bus Transnasional. Begitu sampai di perbatasan, semua penumpang bus beserta seluruh barang bawaannya (termasuk kopor/ransel yang berat itu) harus turun dari bus untuk ngantri (istilah saya check out) di Imigrasi Singapura sementara bus menunggu di bawah (kantor imigrasi di lantai dua). Setelah urusan Imigrasi Singapura beres, saya dan penumpang lainnya (setelah menunggu cukup lama) segera kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan ke Malaysia. Setelah melewati Singapore - Johor Causeway kita sudah tiba di wilayah Malaysia. Bus pun berhenti lagi untuk menurunkan penumpang dan barang bawaannya untuk antri (check in) di imigrasi Malaysia. Setelah itu bus melanjutkan perjalan lagi ke Kuala Lumpur. Di sini saya sudah melihat perbedaan Singapura dan Malaysia. Kantor Imigrasi Singapura besar dan megah serta terdiri banyak counter sedangkan Kantor Imigrasi Malaysia sangat kecil dan kalau nggak salah, hanya terdiri dari dua counter.

3. Malaysia - Thailand dan sebaliknya
Saya melewati perbatasan Malaysia - Thailand ketika melakukan perjalanan dari Kuala Lumpur ke Hat Yai (Thailand Selatan) dan sebaliknya (dari Bangkok ke Penang), dengan naik kereta api. Pos perbatasan Malaysia - Thailand berada di Stasiun Kereta Api Padang Besar, Malaysia. Rupanya Pemerintah kedua negara sudah melakukan perjanjian kerja sama untuk membangun kantor imigrasi bersama di wilayah Malaysia. Jadi, di stasiun tersebut ada dua kantor imigrasi yaitu Kantor Imigrasi Malaysia dan Kantor Imigrasi Thailand. Keuntungannya, jelas menghemat waktu perjalanan karena kereta api hanya berhenti sekali di Stasiun Kereta Api Padang Besar untuk memberi kesempatan kepada para penumpang untuk membereskan urusan imigrasi, baik di Imigrasi Malaysia maupun Imigrasi Thailand. Proses imigrasi pun sangat mudah dan cukup cepat. Pertama, kita check out di Imigrasi Malaysia kemudian check in di Imigrasi Thailand. Kita tidak perlu khawatir ketinggalan kereta, karena kereta dengan sabar akan menunggu seluruh penumpangnya.

Perbatasan Kamboja (Poipet) - Thailand (Aranyaprathet)

4. Thailand - Kamboja dan sebaliknya
Perbatasan Thailand - Kamboja merupakan perbatasan yang sangat ramai dan semrawut, terutama di wilayah Kamboja (Poipet). Wilayah perbatasan Thailand (Aranyaprathet) cukup tertib dan teratur. Kantor Imigrasinya juga cukup megah. Kontras sekali dengan wilayah Kamboja (Poipet) yang sangat semrawut, banyak pedagang asongan, calo dan copet. Tampak jelas perbedaan ekonomi kedua negara. Untuk mencapai Aranyaprathet butuh waktu sekitar 6 jam dengan kereta api dari Bangkok. Kemudian, kita harus melanjutkan perjalanan dari Stasiun Aranyaprathet ke perbatasan baik dengan taksi ataupun tuk-tuk. Saat itu, saya beruntung diajak naik tuk-tuk bareng oleh rombongan turis Perancis yang juga akan pergi ke Kamboja. Proses imigrasi di Thailand sangat mudah dan lancar. Berbeda dengan proses imigrasi di Kamboja, di mana Pemerintah Kamboja masih memberlakukan kebijakan Visa on Arrival (VoA) bagi Warga Negara Indonesia (WNI). Sialnya, petugas imigrasi Kamboja bermental korup. Biaya VoA untuk jenis visa turis yang seharusnya USD 20 (jelas-jelas tertulis di kertas yang ditempel di depan Kantor Imigrasi Kamboja), dinaikkan menjadi USD 25. Jadi, petugas imigrasi Kamboja meminta tambahan USD 5 kepada para turis. Mereka tidak akan memproses aplikasi VoA kita, bila tidak membayar USD 25. Saya tidak terlalu kaget dengan hal ini, karena dari informasi di internet memang seperti itu. Yang saya herankan, mengapa Pemerintah Kamboja membiarkan hal ini terjadi? Padahal, Poipet merupakan salah satu gerbang masuk turis ke Kamboja yang sangat potensial.

Perbatasan Kamboja - Vietnam (Bavet). Sumber : Internet

5. Kamboja - Vietnam dan sebaliknya
Perjalanan lintas batas negara yang paling asyik dan menyenangkan. Saya melewati perbatas ini ketika melakukan perjalanan dengan bus dari Phnom Penh ke Ho Chi Minh City sebaliknya. Menjelang perbatasan Kamboja - Vietnam, kondektur bus akan meminta paspor seluruh penumpang. Begitu sampai di Bavet (Pos Perbatasan Kamboja), kondektur turun untuk mengurus keperluan imigrasi penumpang. Semua penumpang hanya duduk menunggu di dalam bus. Setelah urusan imigrasi beres, bus akan melanjutkan perjalanan ke Moc Bai (Vietnam). Kondektur turun terlebih dahulu untuk mengurus keperluan imigrasi penumpang, termasuk penumpang yang membutuhkan (Voa). Seluruh penumpang juga turun, tapi tidak perlu ngantri di imigrasi. Kita hanya menunggu Petugas Imigrasi Vietnam memanggil nama kita. Setelah nama kita dipanggil, petugas imigrasi akan mengembalikan paspor kita yang sudah distempel. Kemudian kita memasukkan semua barang kita melewati scanner (X-Ray) dan selanjutnya naik bus lagi untuk melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh City. Sialnya, Visa Kamboja hanya berlaku untuk sekali masuk (single entry). Jadi ketika kembali ke Phnom Penh, saya harus apply VoA lagi. Untungnya, saya tidak perlu repot-repot ngantri di Imigrasi Kamboja, karena sudah diurusin oleh kondektur bus. Saya hanya perlu membayar biaya servis USD 2 kepada kondektur. Jadi, total biaya VoA adalah USD 22.

Kantor Imigrasi Vietnam yang megah di Moc Bai

7. Macau - Hongkong dan sebaliknya (Lewat Laut)
Macau dan Hongkong dipisahkan oleh laut/selat. Jadi kita harus menyeberang dengan ferry dalam waktu sekitar satu jam. Meski Macau dan Hongkong bukan negara (keduanya merupakan Special Administrative Region-nya Cina), masing-masing miliki mata uang dan bendera sendiri. Mereka juga mengeluarkan paspor untuk penduduknya. Jadi, masing-masing memiliki pos imigrasi. Begitu akan meninggalkan Macau, kita harus check out di Imigrasi Macau yang ada di Macau Ferry Terminal (Terminal Maritimo). Kemudian kita naik ferry menuju Hongkong. Ada dua pilihan tujuan ferry di Hongkong, yaitu Tsim Tsa Tsui di Kowloon atau Central. Saya memilih Central karena, saya akan menginap di tempat teman yang berada tak jauh dari Central. Begitu tiba di Central, saya segera antri check in di Imigrasi Hongkong.

8. Hongkong - Cina (Shenzhen) dan sebaliknya
Meski Hongkong merupakan bagian dari Negara Cina, tetapi masing-masing mengeluarkan paspor sendiri-sendiri. Kalau Hongkong memberlakukan kebijakan bebas visa bagi pemegang Paspor Indonesia, Cina tidak. Untungnya, kalau akan berkunjung ke Shenzhen (kota di Cina daratan yang terdekat dengan Hongkong) yang berstatus Special Economic Zone, kita bisa apply VoA yang berlaku selama lima hari hanya untuk di Kota Shenzhen. Kalau kita berencana liburan keluar Shenzhen dan lebih dari lima hari, kita harus apply Visa Cina dari Indonesia. Dari Hongkong, saya naik kereta menuju Lo Wu, Cina. Di Lo Wu, ada Imigrasi Hongkong dan Cina. Seperti biasa, saya check out dulu di Imigrasi Hongkong kemudian apply VoA di Imigrasi Cina. Sialnya, Imigrasi Cina baru buka jam 09.00. Waktu itu saya datang sekitar jam 08.00. Jadi saya harus menunggu loket imigrasi buka lumayan lama. Proses aplikasi VoA pun cukup mudah. Kita hanya mengisi formulir VoA dan membayar biaya visa dengan mata uang Yuan (Catat ya! Harus dengan mata uang Yuan). Sialnya saat itu saya belum punya uang Yuan. Saya hanya membawa Hongkong Dolar dan Macau Pataca. Alhasil, saya pun harus menukarkan uang di satu-satunya money changer yang ada di dekat counter VoA Cina, yang rate-nya cukup merugikan konsumen. Mereka menjual Yuan lebih mahal dibandingkan money changer manapun. Sepertinya memang sudah ada kerja sama antara Imigrasi Cina dan money changer tersebut. Jadi mau tak mau saya membeli Yuan di situ juga, walaupun dengan tidak ikhlas. (edyra)***
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments