LAMAKERA, DESA PEMBURU PAUS DI PULAU SOLOR

Mengagumi keindahan Desa Lamakera dari Dermaga




Bila mendengar perburuan ikan paus, pikiran kita biasanya akan melayang ke Desa Lamalera. Maklum, desa yang terletak di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, memang sudah terkenal seantero dunia sebagai desa pemburu paus. Ekpose media dan promosi wisata yang besar-besaran memang membuat nama Desa Lamalera kondang bukan hanya di Indonesia tapi sampai ke berbagai penjuru dunia. Padahal Lamalera bukan-satu-satunya desa pemburu paus di Indonesia. Masih ada satu desa pemburu paus lagi yang konon katanya mempunyai tradisi berburu paus jauh lebih dulu daripada Desa Lamalera, namanya Desa Lamakera. Memang hanya beda satu huruf, yaitu L dan K tapi dua desa ini mempunyai karakteristik yang sangat berbeda.

Desa Lamakera merupakan tetangga Desa Lamalera, tetapi beda pulau. Lamalera berada di Pulau Lembata sedangkan Lamakera berada di ujung timur Pulau Solor. Letak Pulau Solor yang mungil ini cukup unik karena dikelilingi tiga pulau, yakni Pulau Flores di sebelah barat, Pulau Adonara di sebelah utara, dan Pulau Lembata di sebelah timur. Secara administratif, Desa Lamakera berada di wilayah Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dulunya, Desa Lamakera terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Motonwutun di sebelah timur dan Dusun Watobuku di sebelah barat. Seiring meningkatnya jumlah penduduk di kedua dusun tersebut, sekarang statusnya sudah meningkat menjadi desa, yaitu Desa Motonwutun dan Desa Watobuku. Meski sudah terbagi menjadi dua desa, tapi warga kedua desa tersebut tetap menyebut dirinya sebagai Warga Desa Lamakera.

Untuk mencapai Desa Lamakera, memang butuh sedikit perjuangan. Saya harus terbang dulu menuju Larantuka, kota di ujung timur Pulau Flores yang merupakan ibu kota Kabupaten Flores Timur. Dari Larantuka, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Lamakera dengan naik perahu (kapal motor) selama sekitar dua jam. Satu-satunya kapal motor yang menuju Lamakera adalah Kapal Motor (KM) Rahmat Solor yang dimiliki oleh Warga Lamakera. Setiap hari kapal ini berangkat dari Pelabuhan Larantuka jam 12.00 siang dan tiba di Desa Lamakera sekitar jam 14.00.


Perjalanan berperahu menuju Lamakera sangat menyenangkan. Awalnya perahu akan melewati Selat Flores yang memisahkan Pulau Flores di sebelah barat dengan Pulau Adonara di sebelah timur. Dari Selat Flores ini, kita bisa melihat Kota Larantuka yang sangat cantik dengan Gunung Ile Mandiri berdiri gagah di belakangnya. Kemudian, perahu belok ke timur membelah Selat Solor. Dari Selat Solor ini, kita bisa melihat pemandangan yang tak kalah memukau. Pulau Adonara dengan Gunung Ile Bolengnya di sebelah utara (kiri) dan Pulau Solor yang berbukit-bukit di sebelah selatan (kanan). Di kejauhan (sebelah timur), nampak samar-samar Pulau Lembata. Jika sedang beruntung, kita juga bisa melihat kawanan lumba-lumba yang sering melintasi Selat Solor.



Selama perjalanan menuju Desa Lamakera, KM Rahmat Solor berhenti tiga kali untuk menaikkan dan menurunkan penumpang di tiga pelabuhan kecil. Perhentian pertama adalah Pelabuhan Lewokaha, kemudian Pelabuhan Menanga, dan terakhir Pelabuhan Gorang sebelum akhirnya tiba di Pelabuhan Lamakera. Dari ketiga pelabuhan tersebut, hanya Pelabuhan Menanga yang mempunyai fasilitas cukup memadai karena Menanga merupakan ibu kota kecamatan. Dua pelabuhan lainnya fasilitasnya sangat sederhana, hanya dilengkapi dengan dermaga kecil tanpa gedung/bangunan pelabuhan. Untuk menurunkan/menaikkan sepeda motor dari/ke atas perahu, sepeda motor tersebut harus diangkat rame-rame.  

 

Setelah dua jam berperahu dari Larantuka, akhirnya KM Rahmat Solor tiba di Pelabuhan Lamakera. Saya segera meloncat keluar dari perahu, tak sabar untuk segera menjelajah Desa Lamakera. Namun, Pak Abdul Karim, sang nahkoda kapal, meminta saya untuk menunggunya sebentar, sebelum menuju rumahnya. Pak Abdul Karim menawari saya untuk menginap di rumahnya pada saat di kapal karena mengetahui saya belum dapat tempat menginap di Desa `Lamakera. Selain Pak Abdul Karim, sebenarnya banyak Warga Lamakera lainnya yang menawari saya untuk menginap di rumahnya. Namun karena saya sudah menerima tawaran Pak Abdul Karim, saya terpaksa menolak tawaran lainnya. Sebagai informasi, sampai saat ini memang tidak ada hotel atau pun penginapan di Desa Lamakera karena desa ini bukan desa tujuan wisata. Namun, Anda tak perlu khawatir karena Anda bisa menginap di rumah warga. Saya sampai terharu dengan keramahan dan kebaikan hati Warga Desa Lamakera, yang menawari saya untuk menginap di rumah mereka walaupun baru pertama kali bertemu.



Sambil menunggu Pak Abdul Karim, saya memotret lanskap Desa Lamakera dari dermaga. Dari ujung timur dermaga, panorama Desa Lamakera terlihat sangat menawan, Bayangkan saja! Sebuah desa berada di pinggir pantai berpasir putih dengan bukit-bukit terjal di belakangnya. Rumah-rumah penduduk terlihat bersusun mulai dari pinggir pantai sampai ke lereng bukit. Masjid Al Ijtihad yang berdiri megah dengan menaranya yang menjulang tinggi nampak paling mencolok dan menjadi ikon (landmark) Desa Lamakera. Saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Desa Lamakera.

 

Setelah menaruh tas dan ngobrol-ngobrol sebentar dengan istri dan anak Pak Abdul Karim, saya langsung menuju Masjid Al Ijtihad dengan ditemani Ibnu, keponakan Pak Abdul Karim. Saya segera menunaikan sholat zuhur yang waktunya sudah mau habis. Setelah itu, saya jalan-jalan di sekitar masjid, sambil menunggu waktu Ashar tiba.

 

Berbeda dengan Warga NTT lainnya yang mayoritas beragama Kristen/Katolik, seluruh Warga Lamakera beragama Islam. Dan hebatnya, meski berada di pulau kecil yang terpencil, Warga Lamakera mampu membangun sebuah masjid yang sangat megah dan indah, membuat saya terkagum-kagum. Masjid yang selesai dibangun pada tahun 2012 ini diberi nama Masjid Al Ijtihad. Masjid ini mempunyai tujuh pintu, yang diberi nama sesuai nama tujuh suku yang ada di Lamakera, yaitu Lewoklodo, Ema Onang, Kiko Onang, Lamakera, Hari Onang, Lawerang, dan Kuku Onang. Masjid ini mempunyai lima menara dengan menara utama yang berada di depan masjid menjulang setinggi 45 meter, menjadikannya menara masjid tertinggi di wilayah NTT.

 

Karena suka berada di ketinggian, saya pun naik sampai ke puncak menara setelah Ibnu meminta izin terlebih dahulu kepada takmir masjid sekaligus meminjam kunci. Perjuangan mendaki Menara Masjid Al Ijtihad sangat menguras tenaga. Saya dan Ibnu harus mendaki ratusan anak tangga yang bentuknya memutar sampai ke puncak menara. Namun, segala lelah dan capek saya langsung lenyap seketika begitu saya tiba di puncak menara. Panorama yang terlihat dari puncak menara sangat menakjubkan. Seluruh Desa Lamakera bisa terlihat dengan jelas lengkap dengan bukit-bukit hijau di belakang desa dan Selat Solor yang berair biru di depannya. Pulau Adonara di seberang selat dan Pulau Lembata di sebelah timur juga terlihat jelas. Saya sampai tak bisa berkata-kata melihat panorama mengagumkan terhampar 360 derajat di sekeliling saya.

 

Turun dari menara, Ibnu mengajak saya ke sebuah tanjung di sebelah barat desa. Desa Lamakera memang diapit dua buah tanjung. Di sebelah barat desa namanya Tanjung Watobuku dan di sebelah timur desa namanya Tanjung Motonwutun. Nama kedua tanjung ini kemudian dijadikan nama desa, setelah Desa Lamakera dipecah menjadi dua. Panorama di Tanjung Watobuku sangat cantik. Di tanjung ini terdapat sekumpulan batuan dengan bentuk yang unik. Batu ini dikeramatkan oleh Warga Lamakera. Tak jauh dari Tanjung Watobuku juga terdapat sebuah pantai yang menarik, namanya Pantai Kebang. Di pantai ini terdapat sebuah batu karang yang menjorok ke laut, bentuknya mirip moncong/mulut buaya. Ada juga batuan berwarna merah di pinggir pantai yang semakin menambah keindahan pantai Di dekat Pantai Kebang juga terdapat padang savana dengan rumput hijau yang menghampar luas. Selain itu, kita juga bisa melihat Gunung Ile Bolang yang berdiri menjulang di Pulau Adonara.

 

 
 
Malam harinya, saya diantarkan Ibnu ke rumah Pak Muhammad Songge, salah satu tokoh masyarakat Lamakera yang mengetahui seluk beluk perburuan paus di Desa Lamakera. Biasanya, bila ada turis, peneliti atau pengunjung yang ingin mengetahui lebih banyak tentang perburuan paus, Warga Lamakera pasti mengarahkannya ke rumah Pak Songge karena beliau memang tahu banyak tentang hal itu. Orangnya juga baik dan ramah kepada pendatang.

Dari Pak Songge, saya mendapat informasi cukup banyak tentang perburun paus di Lamakera. Ternyata tradisi berburu paus di Lamakera sudah dilakukan sejak lama, jauh sebelum masyarakat Lamalera. Sayangnya, perburuan paus yang dilakukan oleh Warga Lamakera tidak pernah diliput/diekspose media massa sehingga tidak diketahui khalayak ramai. Selain itu, paus yang diburu Warga Lamakera juga berbeda dengan paus yang diburu Warga  Lamalera. Warga Lamalera memburu paus sperma (Physeter macrocephalus) yang ukurannya lebih kecil, sedangkan Warga Lamakera memburu paus biru (Balaenoptera musculus) yang ukurannya jauh lebih besar, panjangnya bisa mencapai puluhan meter. Sayangnya kedatangan saya bukan bertepatan dengan saat berburu paus. Perburuan paus biasanya dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober karena pada bulan-bulan tersebut paus biasanya muncul di perairan sekitar Pulau Solor. Jadi saya tidak bisa melihat paus tersebut.

 

Untuk mengobati kekecewaan saya, Pak Songge menunjukkan tulang paus kepada saya. Tulang paus tersebut berada di rumah kerabat Pak Songge yang terletak di pinggir pantai. Paus yang ditangkap bulan November 2014 silam itu, panjangnya mencapai delapan meter. namun, Warga Lamakera tidak menimbang paus tersebut karena ukurannya yang sangat besar.

 

Menurut Warga Lamakera, panorama terbaik Desa Lamakera bisa dilihat dari bukit di ujung timur desa selain dari puncak Menara Masjid Al Ijtihad. Karena itulah, saya bersama Pak Songge mendaki bukit tersebut keesokan harinya. Ternyata Warga Lamakera tidak bohong. Setelah bersusah payah mendaki selama tiga puluh menit, saya diberi hadiah pemandangan yang sangat menakjubkan dari puncak bukit. Desa Lamakera dengan pantai pasir putihnya terlihat sangat mempesona. Selat Solor yang terhampar di depan desa dan Pulau Adonara di kejauhan semakin mempercantik panorama tersebut. Saya jadi makin cinta dengan Lamakera. Rasanya berat sekali untuk meninggalkan desa cantik ini. Sambil berjalan menuruni bukit, saya berdoa agar diberi kesempatan untuk kembali Ke Lamakera suatu hari nanti.

Menuju ke sana
Untuk mencapai Desa Lamakera memang butuh sedikit perjuangan karena letak desa ini cukup terpencil di ujung timur Pulau Solor, sebelah timur Pulau Flores, NTT. Dari Jakarta atau kota-kota lainnya di Pulau Jawa, Anda harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Selanjutnya, dari Kupang Anda harus terbang ke Larantuka, kota di ujung timur Pulau Flores. Dari Larantuka, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Desa Lamakera dengan naik perahu/kapal motor. Satu-satunya perahu yang  menuju Desa Lamakera adalah KM Rahmat Solor yang berangkat dari Pelabuhan Larantuka jam 12.00 siang setiap harinya. Opsi lainnya, dari Larantuka Anda bisa naik perahu sampai ke Kota Waiwerang, Pulau Adonara kemudian lanjut naik perahu kecil hingga tiba di Lamakera. (edyra)***



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments