TRAVEL KALEIDOSKOP 2016


Januari : Sumba Timur

Februari : Malaysia dan Filipina

Maret : Jakarta, Singapura, dan Pati


April : Pulau Pangabatang

Mei : Pulau Alor, Buaya, dan Pantar

Juni : Kupang


Juli : Pati, Air Terjun Tedunan 


Agustus : Pulau Semau, Pulau Sukun, Larantuka, Pulau Adonara, dan Kepulauan Meko


September : Pati, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Teluk Melano, Sarawak (Malaysia Timur)


Oktober : Pati

November : Pulau Lembata, Larantuka, Pulau Adonara, dan Kepulauan Meko


Desember : Pati dan Jakarta


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

AMAZING SUNRISE AND SUNSET 2016


Pantai Lasiana, Kupang, Nusa Tenggara Timur

Manila, Filipina

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

PESONA PANTAI PASIR JINGGA DI PULAU ADONARA




Pantai Pasir Jingga biasa disebut Pantai Pasir Merah (Pantai Wera Mean dalam bahasa setempat) oleh Warga Adonara dan sekitarnya. Pantai cantik ini terletak di Desa Boleng, Kecamatan Ile Boleng, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dari Kota Waiwerang, pantai ini bisa ditempuh dalam waktu 30 menit berkendara. 
 

Seperti namanya, keunikan Pantai Pasir Jingga terletak pada warna pasirnya yang unik. Tidak seperti pasir pantai kebanyakan yang berwarna hitam atau putih, pasir di Pantai Pasir Jingga berwarna jingga (orange). Di pantai ini bertaburan batu-batu magma berwarna hitam, letusan dari Gunung Ile Boleng yang berdiri gagah tak jauh dari pantai.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

PANTAI LAMARIANG, SATU-SATUNYA PANTAI BERPASIR MERAH DI INDONESIA

Terkagum-kagum dengan keunikan Pantai Lamariang


Sejauh ini ada tiga pantai pasir merah yang dikenal publik di dunia, yaitu : Pantai Kokkini di Pulau Santorini, Yunani; Pantai Kaihalulu di Hawaii, Amerika Serikat dan Pantai Rabida di Pulau Rabida, Kepulauan Galapagos, Ekuador. Ketiga pantai unik tersebut letaknya sangat jauh dari Indonesia sehingga butuh biaya yang mahal untuk mengunjunginya. Namun, jangan sedih dulu! Pasalnya, Indonesia juga punya pantai berpasir merah yang belum diketahui banyak orang. Namanya Pantai Lamariang, lokasinya berada di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Pantai Lamariang dengan pasirnya yang berwarna merah marun
 
Perkenalan saya dengan Pantai Lamariang berawal dari kunjungan pertama saya ke Lembata tahun kemarin. Waktu itu, saya mendapat informasi dari tukang ojek yang mengantar saya keliling Lembata bahwa ada sebuah pantai berpasir merah di pulau yang terkenal dengan tradisi perburuan pausnya itu. Bahkan tukang ojek tersebut juga sudah menunjukkan lokasi pantai eksotis itu dari kejauhan. Sayangnya, saat itu saya tidak bisa mengunjungi Pantai Lamariang karena sudah kesorean dan cuaca mendung. Alhasil, saya pun kecewa berat dan harus memendam impian untuk mengunjungi pantai berpasir merah itu.

Gradasi warna air laut yang sangat cantik di Pantai Lamariang
 
Setelah setahun berlalu, akhirnya kesempatan untuk menyambangi Lembata kembali pun tiba. Betapa gembiranya saya. Saya pun mengagendakan waktu khusus untuk mengunjungi Pantai Lamariang yang sudah saya impikan sekian lama. Tempat-tempat menarik lainnya di Lembata saya kesampingkan, demi melihat keunikan Pantai Lamariang.

Pasir berwarna merah marun di Pantai Lamariang
 
Untuk mengunjungi Pantai Lamariang, saya menyewa sepeda motor dari hotel tempat saya menginap di Kota Lewoleba karena tidak ada kendaraan umum menuju pantai ini. Dari Lewoleba, saya tinggal mengarahkan kendaraan ke arah timur melintasi Jalan Trans Lembata menuju daerah Ile Ape. Pantai Lamariang terletak di Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata. Pantai istimewa ini berada tak jauh dari Kampung Adat Lamariang yang terkenal dengan ritual Pesta Kacangnya. Dari Lewoleba pantai ini berjarak sekitar 19 km atau sekitar 30 menit berkendara.

Hamparan belerang tak jauh dari Pantai Lamariang
  
Lokasi Pantai Lamariang sekitar dua ratus meter dari jalan raya. Setelah memarkir sepeda motor di bawah pohon, saya pun berjalan kaki melewati tanah lapang dengan hamparan belerang, menuju pantai idaman saya. Suasana sangat sepi ketika saya tiba di Pantai Lamariang. Tak ada satu pun pengunjung lain selain saya. Sejauh mata memandang, yang saya lihat adalah pantai berpasir merah marun yang membentang luas. Saya sampai ternganga dibuatnya. Saya pun mencoba mengambil segenggam pasirnya, agar bisa saya lihat lebih dekat. Konon, pasir Pantai Lamariang yang berwarna merah tersebut karena mengandung besi. Bukan hanya warna pasirnya yang unik, gradasi warna air laut di Pantai Lamariang juga istimewa. Tidak seperti pantai kebanyakan yang airnya berwarna hijau kebiruan, warna air laut di Pantai Lamariang bergradasi jingga/oranye, hijau, dan biru. Warna air laut yang unik ini tak lain berkat aliran sungai belerang dari Gunung Ile Ape yang mengalir ke pantai. Sungai belerang yang berwarna kuning bercampur dengan pasir pantai yang berwarna merah marun membuat air laut di Pantai Lamariang berubah warna menjadi jingga. Semakin ke tengah air laut berubah warna menjadi hijau toska dan biru karena pantulan warna langit.

Gunung Ile Ape yang berdiri gagah terlihat jelas dari Pantai Lamariang

Pesona Pantai Lamariang tak berhenti di situ. Gunung Ile Ape yang berdiri gagah juga terlihat jelas dari pantai cantik tersebut. Tak pelak kehadiran gunung berapi yang masih aktif tersebut semakin mempercantik Pantai Lamariang. Anda pun bisa berfoto dengan latar belakang pantai dan gunung, di waktu yang sama. Tak hanya itu, tak jauh dari pantai berpasir merah yang hanya ada satu-satunya di Indonesia itu juga terdapat tanah lapang cukup luas dengan taburan bebatuan dan belerang yang berwarna kuning cerah. Di tanah lapang tersebut terdapat dua sumur belerang dengan warna air hijau lumut. Biasanya para pengunjung tak lupa berfoto di sumur cantik tersebut. Namun, Anda harus berhati-hati saat berfoto. Sumur belerang tersebut memang terlihat indah ketika cuaca sedang cerah, tapi juga sangat berbahaya. Kadar keasaman airnya sangat tinggi sehingga bisa menghancurkan benda apa pun yang tercebur di dalamnya.

Sumur Belerang di dekat Pantai Lamariang

Dengan segala keunikan dan keindahannya, Pantai Lamariang sangat berpotensi untuk menjadi objek wisata andalan di Pulau Lembata selain atraksi penangkapan paus di Desa Lamalera yang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Sayangnya, hingga detik ini tak ada perhatian sedikit pun dari pemerintah daerah setempat. Akses jalan masih kurang bagus dan tak ada satu pun  rambu-rambu/petunjuk arah yang menunjukkan arah jalan menuju Pantai Lamariang. Informasi di media massa tentang pantai Lamariang juga sangat minim, bahkan bisa dibilang tidak ada. Biasanya pengunjung yang datang ke Pantai Lamariang hanya mendengar keberadaan pantai ini dari mulut ke mulut saja, termasuk saya. Semoga ke depannya ada perhatian dari Pemerintah Derah Lembata agar pantai istimewa ini dikenal orang dari berbagai penjuru dunia. (Edyra)***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

ISLAND HOPPING IN MEKO ISLANDS



Menikmati air laut sebening kristal di sekitar Nuha Pasir Putih
Matahari berada tepat di atas ubun-ubun ketika saya tiba di Dusun Meko. Sinarnya terasa begitu menyengat, Suasana kampung kecil di ujung timur laut Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini terasa lengang. Tak banyak warga yang kelihatan selain ibu-ibu dan anak-anak kecil yang sedang bersantai di bawah kolong rumah panggung atau di teras rumah. Kaum pria hanya terlihat satu dua orang saja. Sepertinya mereka sedang beristirahat di dalam rumah atau masih melaut karena sebagian besar warga Dusun Meko memang berprofesi sebagai nelayan. 

Dusun Meko yang letaknya terpencil dan tersembunyi

Saya langsung mengarahkan kendaraan ke tempat yang teduh di pinggir pantai. Kebetulan di sana ada dua orang bapak-bapak yang sedang bersantai di sebuah bale-bale, di bawah pohon waru yang cukup rindang. Tempat tersebut memang sangat tepat untuk berlindung dari teriknya matahari Adonara yang begitu menyengat. Hembusan angin yang bertiup sepoi-sepoi, juga memberikan kesejukan tersendiri. Apalagi dari tempat itu terlihat Pulau Keroko, Pulau Watupeni, dan Pulau Pasir Putih, tiga di antara lima pulau yang ada di gugusan Kepulauan Meko, yang sebentar lagi akan saya sambangi. Saya jadi makin tak sabar untuk segera menginjakkan kaki di pulau-pulau cantik tersebut.

Pantai Dusun Meko


Saya menyapa bapak-bapak tersebut dan memperkenalkan diri, untuk membuka obrolan dengan mereka. Setiap mengunjungi tempat baru, saya mempunyai kebiasaan ngobrol dengan penduduk setempat untuk mengakrabkan diri sekaligus mencari informasi tentang tempat tersebut. Dari obrolan tersebut, biasanya saya mendapat informasi tentang hal-hal menarik di tempat tersebut yang belum diketahui banyak orang. Bahkan, biasanya mereka tak segan-segan membantu kita, bila membutuhkan pertolongan. Begitu juga saat bapak-bapak tersebut tahu bahwa saya ingin mengunjungi Kepulauan Meko. Bapak tersebut segera memanggil temannya yang mempunyai perahu dan biasa mengantarkan turis ke Kepulauan Meko. Nama pemilik perahu tersebut adalah Pak Ismail. Setelah ada kesepakatan harga sewa perahu, Pak Ismail mengajak saya ke rumahnya yang berada tepat di sebelah barat masjid. Dia mememinta saya menunggu sebentar, sementara dia menyiapkan perahu.

Jalan tanah yang menantang menuju Dusun Meko
Saya pun duduk-duduk di bale-bale yang ada di depan rumah Pak Ismail. Saya bersyukur bisa tiba dengan selamat di Dusun Meko, mengingat perjalanan panjang yang telah saya lewati. Untuk mencapai Dusun Meko yang merupakan desa terdekat dengan Kepulauan Meko, bukan perkara yang mudah. Dari Pelabuhan Pantai Palo, Larantuka di ujung timur Pulau Flores, saya harus menyeberang dengan perahu motor menuju Tanah Merah di ujung barat Pulau Adonara. Selanjutnya saya harus berkendara membelah Pulau Adonara dari ujung barat hingga ujung timur, menempuh jarak sekitar 50 km menuju Dusun Meko. Jarak 50 km sebenarnya tidak terlalu jauh, jika kondisi jalan bagus. Namun, karena jalan di Pulau Adonara banyak yang rusak, jarak tersebut harus saya tempuh dalam waktu hampir dua jam. Ada dua ruas jalan terparah yang harus kita lewati. Pertama, ruas jalan dari Desa Kolilanang menuju Desa Hinga. Jalannya menurun curam dan berkelok-kelok dengan lubang menganga di sana-sini. Di beberapa tempat, aspal sudah hilang sama sekali, berganti jalan tanah berbatu. Ruas jalan kedua yang juga parah adalah setelah pertigaan Desa Pledo menuju Dusun Meko. Jalannya membelah ladang/perkebunan warga tanpa ada satu pun perkampungan warga di kanan kirinya. Jalan sepanjang 2 km ini berupa lannya berupa jalan tanah tanpa aspal, dengan permukaan yang tidak rata. Parahnya lagi kontur jalannya menanjak dan menurun dengan tanah yang berdebu saat musim kemarau. Saat musim hujan, jalan tersebut pasti akan sangat licin dan susah dilewati kendaraan bermotor. Kondisi jalan membaik 2 km terakhir mendekati Dusun Meko karena sudah disemen berkat swadaya Warga Meko.

Kepulauan Meko dilihat dari Dermaga Dusun Meko
Setelah perahu siap, Pak Ismail segera mengajak saya berangkat. Sayangnya air laut sedang surut saat itu, sehingga perahu kandas jauh di tengah laut. Kondisi Pantai Dusun Meko yang landai, juga membuat laut surut cukup jauh. Untung sekarang sudah ada dermaga di Dusun Meko. Jadi, saya tidak perlu susah-susah berjalan melewati pantai berlumpur untuk mencapai perahu.

Kepulauan Meko masuk dalam wilayah Dusun Meko, Desa Pledo, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur. Kepulauan ini terdiri dari lima pulau kecil, dengan urutan dari yang terjauh dari Dusun Meko sebagai berikut : Pulau Ipet, Konawe, Pasir Putih, Keroko, dan Watupeni. Saya mengajak Pak Ismail untuk mengunjungi pulau terjauh terlebih dahulu. 


Perairan dangkal di Kepulauan Meko yang berwarna hijau toska (aquamarine)


Perjalanan menuju Pulau Ipet sangat menyenangkan. Kami melewati perairan dangkal yang tenang tanpa gelombang. Asyiknya lagi, air laut lautnya sangat bening dengan gradasi warna yang sangat cantik, mulai dari hijau toska (turquoise), biru muda hingga biru tua. Saking beninggnya, terumbu karang dan ikan-ikan yang berenang bisa terlihat jelas dari atas perahu. Apalagi saat perahu memasuki selat sempit di antara Pulau Ipet dan Pulau Konawe. Seluruh perairannya berwarna hijau toska, menyejukkan mata. Saya sampai terpana dibuatnya, hingga tak terasa perahu mendekati ke Pulau Ipet yang tertutup rumpun pohon bakau (mangrove) yang rimbun. 

Mangrove yang rimbun di Pulau Ipet
Hanya butuh waktu 15 menit untuk mencapai Pulau Ipet yang sering disebut Pulau Kelelawar oleh warga setempat. Seperti julukannya, pulau ini memang habitat kelelawar. Pulau yang 90 persen wilayahnya dikelilingi tanaman mangrove ini, memang habitat kelelawar. Di siang hari, biasanya mereka akan tidur bergelantungan di dahan pohon mangrove dan baru akan keluar/terbang mencari makan di malam hari. Kata Pak Ismail, biasanya sekitar jam 6 sore mereka baru beterbangan mencari makan. Jumlahnya bisa mencapai ribuan saat itu. Karena kami datang di siang bolong, kelelawar tersebut pun sedang tidur. Sialnya, mereka memilih pohon mangrove yang jauh di tengah pulau, agar tidak terganggu kedatangan manusia. Saya pun harus menerobos kerimbunan mangrove dan memanjat salah satu pohon untuk bisa memotretnya.

Selanjutnya, kami menuju Pulau Konawe yang letaknya tepat di samping/sebelah barat Pulau Ipet. Pulau ini juga dikelilingi laut dangkal berwarna hijau toska. Bagian timur pulau yang berhadapan dengan Pulau Ipet dipagari mangrove yang lebat, sedang di bagian utara terdapat pantai berpasir putih yang menawan. Pantai yang tak seberapa panjang itu terlihat eksotis karena dihiasi taburan batu-batu hitam di beberapa tempat. Kami mendarat di pantai cantik tersebut agar bisa melihat keindahan Pulau Konawe dari dekat. 

Pantai cantik di Pulau Konawe

Pulau Konawe disebut juga Pulau Kambing oleh warga setempat karena dulunya sering dimanfaatkan sebagai tempat penggembalaan kambing. Kontur tanah di pulau ini berbukit-bukit, dengan taburan batu-batu yang cukup besar di bagian tengahnya. Cukup banyak pepohonan rindang di Pulau Konawe, termasuk di pinggir pantai sehingga bisa dimanfaatkan pengunjung untuk berteduh dari sengatan matahari. Di pantai tersebut, pengunjung bisa berenang, berjemur, bermain pasir atau bermalas-malasan sambil membaca buku. Menurut Pak Ismail, Pantai Konawe merupakan salah satu pantai favorit turis asing di Kepulaun Meko untuk berjemur dan berenang. Pasirnya yang putih bersih dan air lautnya yang bening berkilauan memang mampu memikat siapa saja yang mengunjunginya. Namun, saya tidak berenang di pantai tersebut karena saya ingin berenang di sekitar Pulau Pasir Putih yang berada tak jauh dari Pulau Konawe.

Nuha Pasir Putih dengan latar belakang Gunung Ile Ape di Pulau Lembata dan Pulau Konawe


Sekarang tiba saatnya untuk mengunjungi Pulau Pasir Putih (Nuha Pasir Putih dalam bahasa setempat) yang sejak tadi begitu menggoda saya. Nuha Pasir Putih merupakan pulau pasir putih (gosong) mungil yang menjadi daya tarik utama (highlight) di Kepulauan Meko. Pulau imut ini dikelilingi lautan dangkal berair jernih dengan warna hijau toska. Di pulau ini tak ada satu pun pohon/tanaman yang bisa tumbuh karena permukaannya berupa pasir putih bukan tanah. Bentuk dan ukuran/luas pulau ini berubah-ubah sesuai musim dan arah angin. Bisa berbentuk bundar, oval, persegi panjang atau bulan sabit. Hari itu, Nuha Pasir Putih berbentuk batang panjang dengan kedua ujung meruncing mirip pedang. Lokasi pulau ini tepat berada di tengah-tengah Kepulauan Meko, sehingga menawarkan pemandangan menakjubkan 360 derajat. Di sebelah timur nampak Pula Lembata dengan Gunung Ile Ape yang berdiri gagah, di sebelah selatan nampak Pulau Ipet dan Konawe, di sebelah barat nampak Pulau Adonara, dan di sebelah utara nampak Pulau Keroko serta Watupeni yang terlihat menyatu. Saat cuaca cerah juga terlihat Pulau Komba yang letaknya jauh di tengah Laut Flores.

Ratusan burung dara laut menyambut kedatangan saya di Nuha Pasir Putih


Selain diberkahi tampilan fisik yang unik dan panorama sekitar yang mengagumkan, Nuha Pasir Putih juga mempunyai atraksi menarik. Pulau cantik ini sering disinggahi sekumpulan burung dara laut (Thalasseus bergii), di saat-saat tertentu. Dan rupanya, Dewi Fortuna berpihak pada saya hari itu. Ketika perahu saya bergerak mendekati Nuha Pasir Putih, saya melihat ratusan burung dara laut berkerumun di pulau tersebut. Saya berteriak kegirangan menyaksikan pemandangan langka yang selama ini hanya bisa saya saksikan di televisi. Saya pun meminta Pak Ismail untuk mempercepat laju perahu agar segera tiba di Nuha Pasir Putih. Sayangnya, saat perahu merapat ke pulau, burung-burung tersebut mulai beterbangan. Saya pun berusaha mendekatinya, agar bisa memotretnya dari dekat. Namun, burung-burung tersebut malah kompak terbang meninggalkan pulau sehingga saya harus puas memotretnya dari kejauhan.

Pantai menawan di Nuha Pasir Putih dengan latar belakang Pulau Adonara


Meski ditinggalkan burung dara laut, saya tak kecewa karena masih banyak hal menarik yang bisa saya lakukan di Nuha Pasir Putih. Mulai dari jalan-jalan keliling pulau, berenang hingga snorkeling. Hal pertama yang saya lakukan di Nuha Pasir Putih adalah jalan-jalan keliling pulau sambil merekam keindahan sekeliling pulau yang luasnya tak seberapa itu. Kemudian saya menikmati keindahan bawah laut Nuha Pasir Putih dengan snorkeling. Tempat snorkeling yang cukup menarik berada di sebelah selatan pulau. Di spot tersebut cukup banyak ikan yang saya lihat, meski turumbu karangnya sebagian besar sudah rusak. Yang paling menyenangkan saya bisa berjumpa dengan ikan favorit saya yaitu ikan badut atau yang biasa disebut Nemo (Amphiprion ocellaris), yang masih banyak di sana. Mereka berenang-renang malu-malu di antara anemon, membuat saya gemas ingin menangkapnya.

Panorama menakjubkan dari Pulau Keroko

Puas menikmati keindahan Nuha Pasir Putih, kami berlayar menuju Pulau Keroko. Sama seperti pulau-pulau lainnya, pulau berbentuk bukit kecil ini juga dikelilingi lautan dangkal berwarna hijau toska. Di bagian selatan pulau ini terdapat pantai berpasir putih yang dihiasi batu-batu hitam seperti di Pulau Konawe. Di pantai inilah biasanya para pengunjung mendarat saat laut sedang pasang. Dari pulau ini Kampung Meko terlihat jelas karena letaknya cukup dekat.

Pulau Watupeni yang menyatu dengan Pulau Keroko saat laut surut
Tepat di sebelah utara Pulau Keroko, terdapat Pulau Watupeni. Pulau ini juga berbentuk bukit tapi tidak punya pantai berpasir putih. Di sekeliling Pulau Watupeni terhampar bebatuan beragam ukuran yang seakan membentengi pulau. Ketika air laut sedang surut, Pulau Watupeni menyatu dengan Pulau Keroko, sehingga kita bisa berjalan kaki mencapainya seperti yang saya lakukan sore itu. Namun, saya tak berlama-lama di Pulau Watupeni karena Pak Ismail sudah memanggil saya untuk segera kembali ke Dusun Meko.

Seiring matahari yang makin condong ke barat, perahu segera bergerak meninggalkan Pulau Keroko. Dengan berat hati, saya pun harus berpisah dengan pulau-pulau cantik di Kepulauan Meko. Kelak pasti saya akan merindukan pulau-pulau mungil tersebut. Makanya saya berdoa kepada Tuhan agar diberi kesempatan sekali lagi untuk bisa mengunjungi Kepulauan Meko suatu hari nanti.

How to Get There
Kepulauan Meko berada di timur laut Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapai Kepulauan Meko, Anda harus terbang dulu ke Kupang, terus lanjut terbang ke Larantuka, Flores Timur. Dari Larantuka, Anda bisa naik ojek atau menyewa kendaraan untuk dibawa menyeberang dengan perahu ke Pelabuhan Tanah Merah, Pulau Adonara. Dari Tanah Merah yang berada di ujung barat Adonara, Anda harus melanjutkan perjalanan menuju Dusun Meko, Desa Pledo yang berada di ujung timur laut Adonara. Selanjutnya, Anda bisa menyewa perahu dari Dusun Meko hingga tiba di Kepulauan Meko.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments